KEMISKINAN
DAN KETIDAKBERDAYAAN PEMERINTAH UNTUK MENANGGULANGINYA
Secara
sosiologi historis, kemiskinan
merupakan fenomena sosial yang telah lama ada, bahkan berkembang
seiring dengan perkembangan sejarah peradaban masyarakat. Menurut
Ismanto (1995), kemiskinan dapat diidentifikasi dari demensi sosial,
politik dan ekonomi. Sehubungan dengan itu, yang
kemudian kita
mengenal istilah kemiskinan sosial, kemiskinan politik dan kemiskinan
ekonomi.
Pertama,
Kemiskinan sosial, yaitu lemahnya jaringan sosial, struktur sosial
yang kurang mendukung serta keterbatasan akses bagi seseorang untuk
meningkatkan sumberdaya yang dimilikinya,
yang kemudian membuat ia terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Kedua,
Kemiskinan politik, yaitu ketidak berdayaan atau ketidak mampuan
politik masyarakat dalam mempengaruhi proses alokasi sumberdaya. Hal
ini terjadi dikarenakan sistem pilitik yang digunakan bersifat
otoriter yang kemudian membatasi
partisipasi
politik masyarakat. Ketiga,
Kemiskinan ekonomi, yaitu keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk
mempertahankan kehidupan yang layak.
Artinya kemiskinan itu terjadi dikarenakan keterbatasan sumberdaya
yang disediakan oleh alam, dan diperparah dengan keterbatasan
sumberdaya manusia.
Kemiskinan
merupakan masalah klasik yang sangat kompleks. Berbagai teori dan
konsep telah dikembangkan untuk mengkaji persoalan ini,
yang dilakukan oleh banyak ahli dan pakar dari berbagai disiplin ilmu
dengan berbagai prespektif.
Berbagai strategi kebijakan dan
program juga
telah dirumuskan oleh pemerintah untuk menanggulanginya.
Dalam perkembangan terakhir, kemiskinan juga sudah menjadi persoalan
dan menarik perhatian dunia
internasional.
Pada saat yang bersamaan masalah kemiskinan telah
menjadi fokus
kajian dan perhatian dari berbagai negara dan lembaga-lembaga
internasional.
Pada
case
Indonesia.
Pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, telah banyak
merintis berbagai
kebijakan
untuk mengatasi
masalah
kemiskinan sejak awal masa kekuasaannya (awal 1970-an). Melalui
program
pemerataan
pembangunan,
pemerintah
Orde Baru
dengan
instrumen kebijakan moneter dalam
bentuk perkreditan
untuk rakyat
dan instrumen kebijakan fiskal
dengan tujuan membantu rakyat kecil
untuk meningkatkan strata ekonominya. Namun semua itu tidak mampu
menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi pemerintah.
Program-program
yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk menjawab persoalan
kemiskinan diantarnya, pada sektor kebijakan monoter dengan program
pengkreditan seperti:
Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
Kredit Candak Kulak (KCK). Selain
program pengkreditan tersebut, pada saat yang bersamaan, dikenal juga
berbagai program Inpres, dilakukan melalui sektor anggaran, yaitu:
Program Inpres Desa (1969/1970), Program Inpres Kabupaten
(1970/1971), Program Inpres Sekolah Dasar (1973/1974), Program Inpres
Kesehatan Masyarakat (1974/1975), Program Inpres Provinsi
(1974/1975), Program Inpres Penghijawan (1976/19770, Program Inpres
Pasar (196/1977) dan Program Inpres Desa Tertinggal (1995/1996).
Logikanya,
dengan berbagai program dan kebijakan-kebijakan yang riil tersebut
pemerintah Orde Baru mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negara
ini,
seiring dengan berbagai prestasi pembangunan yang dicapainya. Namun
fakta menyajikan
data kepada kita,
bahwa
berdasarkan data BPS,
pada
tahun
1998 terdapat sebagai tahun dimana rezim Orde Baru berakhir, angka
kemiskinan di negara ini pada saat tersebut berada pada 24,2 persen,
sebagian besar dari mereka yaitu 17,2 juta tinggal di daerah
pedesaan.
Kebijakan
penanggulangan kemiskinan terus berlanjut pada era reformasi, dan
telah dicanangkan
oleh pemerintah sejak tahun 2001.
Dianatara program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh
pemerintah pada era reformasi adalah pemberian bantuan tunai kepada
masyarakat miskin. Pada masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) saat ini, pemerintah menjalankan program “Kartu
Saktinya”, yaitu Kartu Indoneisa Sehat dan Kartu Indoneisa Pintar.
Bahkan
dalam perkembangan terakhir,
kebijakan
yang dilakukan tidak lagi hanya dengan cara subsidi
yang dilakukan oleh pemerintah.
Tetapi
dengan berbagai program
kemitraan dalam bentuk CSR
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah (sektor suasta)
yang tidak menggunakan sumber keuangan dari negara (APBN dan APBD).
Berbagai
kebijakan dan program yang telah dilakukan oleh pemerintah, baik pada
masa Orde Baru hingga era reformasi seakan belum dapat mengatasi
masalah kasik kemiskinan. Data
BPS menunjukan bahwa, hingga ahir tahun 2015, angka kemiskinan di
nagera ini berada pada posisi 11,13 persaen. Realitas
tersebut seakan menunjukan bahwa pemerintah tidak dapat berbuat
banyak untuk mengendalikan dan mengatasi masalah kemskinan di negara
ini.
Fenomena
kemiskinan sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
merupakan persoalan Internasional. Persoalan kemiskinan ini rentan
terjadi pada Negara-negara berkembang dan sebagian besarnya adalah
penduduk pedesaan. Dari hasil penelitian IFAD (International
Fund for Agricultural Development)
terhadap 114 negara berkembang sebagian besar, yaitu 80 persen
penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan rata-rata adalah
masyarakat atau penduduk pedesaan.
Melihat
realitas tersebut, maka pemerintah sebagai pemegang kendali
pembangunan negara diharapkan dapat bertindak dengan tepat dalam
menghadapi persoalan kemiskinan ini. Ibaratnya seorang dokter yang
menghadapi pasiennya, ketika terjadi salah diagnosa, yang kemudian
salah dalam pemberian obat maka akan berakibat fatal terhadap pasien
tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mengatasi masalah
kemiskinan perlu ada pemetaan kemiskinan (proverty
mapping), yaitu
menentukan penduduk miskin dan mengenali proses yang menyebabkan
mereka miskin. Pentingnya mengenali masalah dalam setiap
menyelesaikan masalah merupakan salah satu proses dalam (problem
solving), agar
dalam pengambilan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang
diharapkan, atau yang biasa dikenal dengan sebutan “kebijakan salah
sasaran”.
Dalam
proses penanggulangan kemiskinan memerlukan sebuah manajemen yang
sangat akurat dan koheren, bukan kerja parsial. Persoalan yang sangat
penting juga adalah pemahaman terhadap faktor dan bentuk kemiskinan,
sehingga dalam merumuskan strategi kebijakan tetap sesuai dengan
kondisi sosial dan lingkungan di mana kebijakan tersebut akan
diimplementasikan. Hal ini penting dipikirkan dan dilaksanakan,
dikarenakan secara konseptual, kebijakan yang berhasil bukan
kebijakan yang bagus konsepnya, yang baik dalam proses perumusan dan
penetapannya. Tetapi, kebijakan yang ekselen adalah kebijakan yang
dapat mengatasi masalah yang dialami dan dihadapi oleh masyarakat.
Masalah
kemiskinan
harus diselesaikan secara cerdas dan bijaksana. Cerdas, maksudnya
pemecahannya
mengena langsung kepada inti permasalahan, bukan pada
akibat
permasalahannya. Bijaksana, artinya dalam pemecahan masalah
tidak
menciptakan maslah baru.
Mengatasi masalah kemiskinan dilakukan secara cerdas dan bijaksana
dikarenakan, dalam kasus tertentu, pemerintah tidak mengatasi masalah
langsung pada pokok masalahnya. Pada sisi yang lain dalam
penyelesaian masalah melahirkan masalah baru.
Pada
sisi yang lain, tumbauhnya kekuatan masyarakat, seperti lembaga
suadaya masyarakat atau organisasi sosial kemasyarakatan di tingkat
daerah, sebaiknya tidak dibenturkan dengan peran birokrasi pemerintah
dalam proses pembangunan. Keberadaan lembaga-lembaga masyarakat
tersebut dijadikan sebagai modal sosial untuk melaksanakan
pembangunan.