Publikasi

Selasa, 25 April 2017

KEMISKINAN DAN KETIDAKBERDAYAAN PEMERINTAH UNTUK MENANGGULANGINYA


Secara sosiologi historis, kemiskinan merupakan fenomena sosial yang telah lama ada, bahkan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah peradaban masyarakat. Menurut Ismanto (1995), kemiskinan dapat diidentifikasi dari demensi sosial, politik dan ekonomi. Sehubungan dengan itu, yang kemudian kita mengenal istilah kemiskinan sosial, kemiskinan politik dan kemiskinan ekonomi.
Pertama, Kemiskinan sosial, yaitu lemahnya jaringan sosial, struktur sosial yang kurang mendukung serta keterbatasan akses bagi seseorang untuk meningkatkan sumberdaya yang dimilikinya, yang kemudian membuat ia terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Kedua, Kemiskinan politik, yaitu ketidak berdayaan atau ketidak mampuan politik masyarakat dalam mempengaruhi proses alokasi sumberdaya. Hal ini terjadi dikarenakan sistem pilitik yang digunakan bersifat otoriter yang kemudian membatasi partisipasi politik masyarakat. Ketiga, Kemiskinan ekonomi, yaitu keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Artinya kemiskinan itu terjadi dikarenakan keterbatasan sumberdaya yang disediakan oleh alam, dan diperparah dengan keterbatasan sumberdaya manusia.
Kemiskinan merupakan masalah klasik yang sangat kompleks. Berbagai teori dan konsep telah dikembangkan untuk mengkaji persoalan ini, yang dilakukan oleh banyak ahli dan pakar dari berbagai disiplin ilmu dengan berbagai prespektif. Berbagai strategi kebijakan dan program juga telah dirumuskan oleh pemerintah untuk menanggulanginya. Dalam perkembangan terakhir, kemiskinan juga sudah menjadi persoalan dan menarik perhatian dunia internasional. Pada saat yang bersamaan masalah kemiskinan telah menjadi fokus kajian dan perhatian dari berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional.
Pada case Indonesia. Pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, telah banyak merintis berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan sejak awal masa kekuasaannya (awal 1970-an). Melalui program pemerataan pembangunan, pemerintah Orde Baru dengan instrumen kebijakan moneter dalam bentuk perkreditan untuk rakyat dan instrumen kebijakan fiskal dengan tujuan membantu rakyat kecil untuk meningkatkan strata ekonominya. Namun semua itu tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi pemerintah.
Program-program yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk menjawab persoalan kemiskinan diantarnya, pada sektor kebijakan monoter dengan program pengkreditan seperti: Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Candak Kulak (KCK). Selain program pengkreditan tersebut, pada saat yang bersamaan, dikenal juga berbagai program Inpres, dilakukan melalui sektor anggaran, yaitu: Program Inpres Desa (1969/1970), Program Inpres Kabupaten (1970/1971), Program Inpres Sekolah Dasar (1973/1974), Program Inpres Kesehatan Masyarakat (1974/1975), Program Inpres Provinsi (1974/1975), Program Inpres Penghijawan (1976/19770, Program Inpres Pasar (196/1977) dan Program Inpres Desa Tertinggal (1995/1996).
Logikanya, dengan berbagai program dan kebijakan-kebijakan yang riil tersebut pemerintah Orde Baru mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negara ini, seiring dengan berbagai prestasi pembangunan yang dicapainya. Namun fakta menyajikan data kepada kita, bahwa berdasarkan data BPS, pada tahun 1998 terdapat sebagai tahun dimana rezim Orde Baru berakhir, angka kemiskinan di negara ini pada saat tersebut berada pada 24,2 persen, sebagian besar dari mereka yaitu 17,2 juta tinggal di daerah pedesaan.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan terus berlanjut pada era reformasi, dan telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2001. Dianatara program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pada era reformasi adalah pemberian bantuan tunai kepada masyarakat miskin. Pada masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) saat ini, pemerintah menjalankan program “Kartu Saktinya”, yaitu Kartu Indoneisa Sehat dan Kartu Indoneisa Pintar.
Bahkan dalam perkembangan terakhir, kebijakan yang dilakukan tidak lagi hanya dengan cara subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi dengan berbagai program kemitraan dalam bentuk CSR yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah (sektor suasta) yang tidak menggunakan sumber keuangan dari negara (APBN dan APBD).
Berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan oleh pemerintah, baik pada masa Orde Baru hingga era reformasi seakan belum dapat mengatasi masalah kasik kemiskinan. Data BPS menunjukan bahwa, hingga ahir tahun 2015, angka kemiskinan di nagera ini berada pada posisi 11,13 persaen. Realitas tersebut seakan menunjukan bahwa pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk mengendalikan dan mengatasi masalah kemskinan di negara ini.
Fenomena kemiskinan sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan persoalan Internasional. Persoalan kemiskinan ini rentan terjadi pada Negara-negara berkembang dan sebagian besarnya adalah penduduk pedesaan. Dari hasil penelitian IFAD (International Fund for Agricultural Development) terhadap 114 negara berkembang sebagian besar, yaitu 80 persen penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan rata-rata adalah masyarakat atau penduduk pedesaan.
Melihat realitas tersebut, maka pemerintah sebagai pemegang kendali pembangunan negara diharapkan dapat bertindak dengan tepat dalam menghadapi persoalan kemiskinan ini. Ibaratnya seorang dokter yang menghadapi pasiennya, ketika terjadi salah diagnosa, yang kemudian salah dalam pemberian obat maka akan berakibat fatal terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan perlu ada pemetaan kemiskinan (proverty mapping), yaitu menentukan penduduk miskin dan mengenali proses yang menyebabkan mereka miskin. Pentingnya mengenali masalah dalam setiap menyelesaikan masalah merupakan salah satu proses dalam (problem solving), agar dalam pengambilan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang diharapkan, atau yang biasa dikenal dengan sebutan “kebijakan salah sasaran”.
Dalam proses penanggulangan kemiskinan memerlukan sebuah manajemen yang sangat akurat dan koheren, bukan kerja parsial. Persoalan yang sangat penting juga adalah pemahaman terhadap faktor dan bentuk kemiskinan, sehingga dalam merumuskan strategi kebijakan tetap sesuai dengan kondisi sosial dan lingkungan di mana kebijakan tersebut akan diimplementasikan. Hal ini penting dipikirkan dan dilaksanakan, dikarenakan secara konseptual, kebijakan yang berhasil bukan kebijakan yang bagus konsepnya, yang baik dalam proses perumusan dan penetapannya. Tetapi, kebijakan yang ekselen adalah kebijakan yang dapat mengatasi masalah yang dialami dan dihadapi oleh masyarakat.
Masalah kemiskinan harus diselesaikan secara cerdas dan bijaksana. Cerdas, maksudnya pemecahannya mengena langsung kepada inti permasalahan, bukan pada akibat permasalahannya. Bijaksana, artinya dalam pemecahan masalah tidak menciptakan maslah baru. Mengatasi masalah kemiskinan dilakukan secara cerdas dan bijaksana dikarenakan, dalam kasus tertentu, pemerintah tidak mengatasi masalah langsung pada pokok masalahnya. Pada sisi yang lain dalam penyelesaian masalah melahirkan masalah baru.
Pada sisi yang lain, tumbauhnya kekuatan masyarakat, seperti lembaga suadaya masyarakat atau organisasi sosial kemasyarakatan di tingkat daerah, sebaiknya tidak dibenturkan dengan peran birokrasi pemerintah dalam proses pembangunan. Keberadaan lembaga-lembaga masyarakat tersebut dijadikan sebagai modal sosial untuk melaksanakan pembangunan.