Publikasi

Kamis, 28 Mei 2015

Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen

Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen


Pengertian Kualitas
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali terdengar orang membicarakan masalah kualitas, misalnya mengenai kualitas sebagian produk luar negeri dan dalam negeri. Apa sesungguhnya kualitas itu? Pertanyaan ini sangat banyak jawabannya, karena maknanya akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Kualitas sendiri memiliki banyak kriteria yang berubah secara terus menerus. David Garvin (Tjiptono, 2000) mengidentifikasikan adanya lima alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu:
  1. Transcendental Approach, Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefenisikan dan dioperasionalkan. Biasanya hanya digunakan dan diterapkan dalam seni-seni seperti seni musik dan drama.
  2. Product-based approach, Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur.
  3. User-based approach, Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang-orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
  4. Manufacturing-based approach, Perspektif ini terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefenisikan kualitas sebagai sama dengan persyaratannya (Comformance to requirements) .
  5. Value-based approach, Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produknya paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling tepat dibeli(best-buy).
Revolusi kualitas diseluruh dunia telah secara permanen telah mengubah cara manusia menjalankan usaha. Dulu kualitas hanya terbatas pada soal-soal teknis, akan tetapi kini sudah merupakan proses peningkatan yang dinamis, berlangsung terus-menerus, dan melibatkan semua kalangan usaha (Stampel dalam Yun, Yong, dan Loh 1998: 33). Lebih lanjut Yun, Yong , dan Loh (Stampel, 1998) menyatakan bahwa kualitas memiliki sifat kumulatif. Kualitas bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah istilah yang luas, yang mencakup totalitas dari semua karakteristik suatu produk atau jasa yang membuat produk atau jasa tersebut unggul dan baik.Defenisi kualitas menurut ISO ( international organization for standarization) adalah :
    1. Kondisi yang sehat untuk tujuan atau pemakaian.
    2. Keselarasan dengan spesifikasi.
    3. Kebebasan dari segala kekurangan.
    4. Kepuasan pelanggan.
    5. Kredibilitas.
    6. Kebanggaan memiliki.
Menurut Yun, Yong, dan Loh (Stampel, 1998: 4) kata kualitas adalah totalitas dari fasilitas dan karakteristik suatu produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang tersurat atau tersirat. Defenisi menurut Goetsch dan Davis (Anastasia, 2000) kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Defenisi lain dikemukakan oleh Taguchi yang menekankan pada kerugian yang harus dibayar oleh konsumen akibat kegagalan suatu produk atau jasa. Taguchi menyatakan bahwa kualitas adalah fungsi dari biaya dimana biaya dapat diturunkan dengan proses perbaikan atau pengurangan variasi dalam poduk atau variasi dalam proses (Taguchi dalam Tjiptono, 2000).
Tidak ada satupun defenisi kualitas yang sempurna. Akan tetapi setidaknya terdapat tiga aspek kunci yang dapat dijadikan patokan untuk dapat memahami defenisi jasa yang mana diantara ketiganya dapat dikombinasikan oleh suatu perusahaan dalam mendefenisiskan suatu kualitas jasa (Tjiptono, 2000: 12) yaitu :
  1. Karakteristik kualitas, yaitu karakteristik output dari suatu proses yang penting bagi pelanggan. Karakteristik ini menuntut pemahaman yang mendalam mengenai pelanggan
  2. Karakteristik kunci kualitas, yaitu kombinasi pemahaman mengenai pelanggan dengan pemahaman mengenai proses
  3. Variabel kunci proses, yaitu pemahaman mengenai hubungan sebab akibat atas suatu proses yang dijadikan sebagai kunci yang dapat dimanipulasi atau dapat dikendalikan.

Dimensi Kualitas Pelayanan
Parasuraman, Zeithaml, Bitner, dan Berry (Tjiptono, 2000) dalam penelitiannya yang dikhususkan pada beberapa perusahaan jasa berhasil mengidentifikasikan sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa. Kesepuluh faktor tersebut meliputi :
  1. Reliability, mencakup dua hal, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependalibility). Hal ini berarti bahwa perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya memberikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati. 
  2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 
  3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan harus terampil dan berpengetahuan agar dapat memberikan jasa tertentu. 
  4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, dan saluran komunikasi mudah dihubungi. 
  5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, keramahan yang dimiliki para contact personal (seperti resepsionis, operator telepon, customer service). 
  6. Communication, artinya dapat memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 
  7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapt dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahan, karakteristik pribadi contact personal, dan interaksi dengan pelanggan. 
  8. Security, yaitu perasaan aman dari bahaya, risiko, atau keraguan-keraguan. Aspek ini meliputi keamanan fisik, keamanan keuangan, dan kerahasiaan. 
  9. Understanding/Knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan. 
  10. Tangibles, yaitu bukti fisisk dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, dan representasi fisik dari jasa.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1988, Parasuraman dan kawan-kawan menemukan bahwa kesepuluh dimensi ini dapat dirangkum menjadi lima dimensi (Zeithaml dan Bitner, 2000) yaitu :
  1. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
  2. Responsivess (daya tanggap), yaitu keinginan perusahaan melalui karyawannya untuk membantu para pelanggan dan membnerikan pelayanan dengan tanggap.
  3. Assurance (jaminan), meliputy pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para karyawan, bebas dari bahaya, risiko, atau keragura-guan.
  4. Empathy (kemampuan pemahaman), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan kemampuan memahami kebutuhan para pelanggan.
  5. Tangibles (bukti fisik), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.

Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan
Kualitas layanan (Service quality) menurut Zeithaml dan Bitner (2000) merupakan salah satu komponen kritis dalam persepsi pelanggan. Dalam bisnis jasa yang murni, kualitas pelayanan merupakan elemen yang dominan dalam penilaian nasabah. Untuk memahami mengenai kualitas pelayanan dalam konteks pelanggan, maka terdapat dua aspek penting untuk dipahami, yaitu aspek sikap (attitude) dan aspek kepuasan (satisfaction). Sikap adalah ekspresi dari perasaan yang terdalam yang menunjukkan kecenderungan apakah seseorang simpatik atau tidak terhadap suatu obyek, misalnya terhadap merek atau pelayanan (Schiffman dan Kanuk 2000).
Zeithaml dan Bitner (2000) menyatakan kepuasan adalah tercapainya apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap suatu barang atau jasa. Secara teknis, Zeithaml dan Bitner mendefenisikan kepuasan sebagai suatu bentuk evaluasi pelanggan atas suatu produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan (needs) dan harapannya (expectation). Selanjutnya, akan timbul ketidakpuasan (dissatisfaction) manakala hasil dari suatu poduk atau jasa tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
Dari kedua pengertian tersebut diatas maka tampak adanya perbedaan antara pengertian sikap dan kepuasan. Sikap ternyata lebih menekankan kepada ekspresi berupa perasaan atau tindakan senang atau tidak senang terhadap sesuatu (barang, jasa, merek, atau pelayanan), sedangkan kepuasan merupakan ungkapan perasaan seseorang terhadap suatu barang atau jasa, setelah yang bersangkutan melakukan evaluasi antara apa yang dibutuhkan atau diharapkan dengan apa yang diterima. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan hubungan transaksi atau pertukaran, maka kepuasan, adalah hasil akhir dari sebuah transaksi atau pertukaran antara produsen dengan konsumen.
Kotler (2000), menyatakan bahwa sesungguhnya nilai yang diterima pelanggan (customer delivery value) adalah total atau penjumlahan dari nilai pelanggan (nilai produk, nilai pelayanan, nilai karyawan, dan nilai citra). Ditambah biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan (biaya moneter, biaya waktu, biaya tenaga, biaya psikis). Woodruff dan Gardial (2000) mendefenisikan nilai pelanggan sebagai persepsi dari pelanggan tentang apa yang mereka harapkan, melalui produk atau jasa yang diharapkan dapat memenuhi keinginan atau tujuan mereka.
Konsep nilai pelanggan (Customer value) sebagaimana tersebut diatas menjadi begitu penting dalam menentukan strategi pemasaran karena saat ini konsumen dihadapkan pada banyak pilihan sehubungan dengan banyaknya produk atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan itu maka faktor kepuasan pelanggan (customer satisfaction) menjadi elemen penting dalam memberikan atau menambah nilai bagi pelanggan. Konsep dan teori mengenai kepuasan konsumen telah berkembang pesat dan telah mampu diklasifikasikan atas beberapa pendekatan. Berikut ini dikemukakan beberapa teori yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.

The Expectancy – Disconfirmation Model
Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan dalam kajian mengenai kepuasan konsumen (Woordruff dan Gardial, 2000) dan sering juga dikenal dengan nama Teori Diskonfirmasi (disconfirmation paradigm). Dalam teori ini di tekankan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan ditentukan oleh suatu proses evaluasi oleh konsumen, dimana persepsi konsumen mengenai kinerja suatu produk atau jasa dibandingkan standar kinerja yang diharapkan. Proses evaluasi itu disebut dengan proses diskonfirmasi (disconfirmation process).
Perbandingan antara perpesi dengan kinerja tersebut akan melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, jika standar kinerja produk atau jasa sesuai yang diharapkan maka yang terjadi adalah confirmation. Kedua, jika terjadi standar kinerja di bawah yang diharapkan maka yang terjadi adalah negative disconfirmation, dan Ketiga, standar kinerja melebihi apa yang diharapkan maka yang tejadi adalah positive-disconfirmation.
Dari uraian diatas terlihat bahwa konsep Expectancy-Diskonfirmation pada dasarnya menekankan bahwa konfirmasi terjadi manakala kinerja barang atau jasa yang diterima cocok dengan standar, sedangkan diskonfirmasi terjadi manakala kinerja yang diterima tidak sesuai dengan standar. Konfirmasi melahirkan kepuasan dan diskonfirmasi melahirkan ketidakpuasan. Kontradiksi ini akan berimplikasi pada standar proses pelayanan dan tingkat kepuasan.

Teori Tingkat Perbandingan
Teori diskonfirmasi menurut beberapa ahli memiliki beberapa kelemahan. Latour dan Peat (1979) mengkritik teori ini dengan alasan, teori ini hanya mengasumsikan bahwa faktor utama dari kepuasan konsumen adalah harapan prediktif yang dibentuk oleh perusahaan, dan mengabaikan sumber lain dari harapan prediktif yang dibentuk oleh perusahaan, dan mengabaikan sumber lain dari harapan konsumen, seperti pengalaman masa lalu terhadap produk yang sama. . Latour dan Peat memodifikasi teori diskonfirmasi dengan mengajukan tiga determinan dasar dari tingkatan perbandingan produk, yaitu (1) pengalaman sebelumnya dari konsumen terhadap yang serupa; (2) situasi yang menimbulkan harapan, misalnya iklan, promosi lainnya dan; (3) pengalaman konsumen lainnya yang bertindak sebagai referensi.

Teori Ekuitas
Teori ini menyatakan bahwa seseorang akan merasa puas bila rasio hasil (outcome) yang diperolehnya dibandingkan input dirasakan fair dan adil. Dengan kata lain, bahwa jika apa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan/ dikorbankan (Out Come dibanding Input ) maka konsumen akan merasakan ketidakpuasan.
Memahami teori diatas, secara eksplisit lebih menekankan pada rasio hasil dibandingkan dengan input. Artinya, teori ini lebih menitikberatkan pada unsur fungsi benefit, tanpa mempertimbangkan unsur lain, seperti unsur emosional konsumen. Dibidang jasa unsur emosional seperti penghargaan (respect) dan pengakuan (recognition) lebih dominan dibanding unsur fungsi produk atau jasa.

Teori Atribut
Teori atribut dikembangkan oleh Weiner (1971) yang kemudian dikembangkan oleh Oliver dan DeSarbo (1998), dan Engel (1990). Menurut teori atribut, ada tiga penyebab yang menentukan keberhasalan atau kegagalan suatu hasil (Outcame), sehingga dari padanya dapat ditentukan apakah suatu pembelian memuaskan atau tidak memuaskan. Pertama, faktor stabilitas atau variabilitas, apakah faktor penyebabnya bersifat sementara atau permanen. Kedua, Locuss Causality, yaitu apakah faktor penyebabnya berhubungan dengan konsumen (external atribut), atau dari pemberi jasa (internal atribut). Ketiga, Controlability, apakah tersebut berada dalam kendali ataukah berasal dari faktor lain yang tidak dapat dipengaruhi.

Faktor Kualitas Pelayanan dalam Menentukan Kepuasan Konsumen

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan merupakan suatu ungkapan perasaan seseorang yang diperoleh setelah melakukan evaluasi kinerja terhadap suatu produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan atau harapannya termasuk dalam hal ini adalah kinerja dari kualitas pelayanan yang diberikan. Menurut Zeithaml dan Bitner (2000: 81), kualitas pelayanan ditentukan oleh persepsi konsumen dalam dua hal. Pertama, persepsi kualitas pelayanan dalam arti hasil teknis (technical outcome) yang diberikan oleh penyedia jasa, dan kedua, kualitas dalam arti hasil dari suatu proses jasa (outcome process) yang diwujudkan dalam bentuk bagaimana jasa itu diberikan.
Zeithaml dan Bitner (2000:75), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dipengaruhi oleh faktor kualitas pelayanan, kualitas produk, harga, faktor situasi, faktor pribadi/ individu pelanggan. Secara visual, Zeithaml dan Bitner menggambarkan pengaruh faktor-faktor tersebut sebagaimana dalam gambar di bawah. Dalam bisnis jasa, dengan karakteristik yang tidak berwujud (Intangibility), bervariasi (variability), dan tidak terpisahkan (inseparability), maka faktor kualitas pelayanan (service quality) menjadi salah satu strategi yang sangat menentukan dalam persaingan. Kualitas pelayanan dalam bisnis jasa hanya dapat diukur melalui persepsi konsumen terhadap kualitas jasa yang diberikan pemberi jasa. 
Konstruksi persepsi konsumen terhadap perusahaan jasa, dipengaruhi oleh pengalamannya dalam mengkomsumsi atau menerima pelayanan pada waktu-waktu sebelumnya. Penilaian terhadap kualitas pelayanan tersebut dilahirkan oleh perbandingan antara apa yang seharusnya diterima (expectation) sebagaimana yang pernah dirasakan, dengan kinerja kualitas pelayanan yang diterimanya (perfomance) (Kadir, 2000). Dari perbandingan tersebut maka kualitas pelayanan pada prisipnya adalah derajat atau tingkatan yang membedakan antara pengalaman menerima suatu pelayanan dibandingkan dengan kualitas pelayanan yang diterima.
Dalam bisnis jasa, persepsi pelanggan tentang kualitas pelayanan suatu perusahaan jasa menurut Zeithaml dan Bitner (2000) dibentuk oleh empat hal sebagai berikut:
  1. Service Encounters (Moment of Truth)
Pelanggan mempersiapkan kualitas pelayanan berdasarkan kontak fisik yang dilakukan dengan penyedia jasa (Service provider). Kontak fisik ini terdiri atas tiga bentuk. a.) Remote Encounters, yaitu kontak yang terjadi antara pelanggan dengan bukan manusia, tetapi melalui peralatan yang disiapkan oleh pemberi jasa; b.) Phone Encounter, yaitu kontak yang terjadi antara pelanggan dengan orang dari penyedia jasa tetapi melalui bantuan alat komunikasi; c.) Face to face encounters, yaitu kontak langsung melalui tatap muka antara petugas pemberi jasa dengan konsumen.
  1. The Evidence of Services
Jasa pada umumnya bersifat tidak berwujud, sehingga baik konsumen maupun pemberi jasa berusaha mengasosiasikan hubungan transaksi mereka melalui bukti-bukti fisik. Ada tiga faktor yang menentukan dalam persepsi pelanggan berkaitan dengan asosiasi mereka terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh pemberi jasa. a.) People, atau orang/petugas pemberi jasa dalam melakukan interaksi dengan konsumen; b.) Physical evidence, atau bukti-bukti fisik yang mempengaruhi persepsi konsumen, misalnya ruang pelayanan, suasana pelayanan, gedung, tempat parkir, atau penggunaan teknologi pelayanan; c.) Process, yaitu persepsi pelanggan mengenai bagaimana cara kerja organisas pemberi jasa, misalnya kebijakan dan peraturan pemberi jasa terhadap konsumen, aliran operasi, dan aliran informasi yang diberikan kepada pelanggan.
  1. Image
Image atau citra adalah persepsi pelanggan terhadap perusahaan pemberi jasa (corporte image) yang merupakan cerminan dari misi, filosofi, nilai inti, dan budaya kerja suatu perusahaan (Nicholas Ind,1997:43). Image dalam persepsi kualitas pelayanan oleh pelanggan berkaitan dengan kualitas teknis pemberi jasa, seperti pengalaman, pengetahuan, dan teknologi dari pemberi jasa, serta kualitas fungsional yang meliputi perilaku, penampilan, sikap, dan kesadaran dalam memberikan pelayanan dari pemberi jasa. Citra perusahaan dibentuk melalui komunikasi seperti iklan, Public relations, citra fisik, atau komunikasi dari mulut ke mulut, yang dikombinasikan dengan pengalaman pelanggan itu sendiri.
  1. Price
Pengaruh harga dalam hubungannya dengan kualitas pelayanan dalam persepsi konsumen bersifat relatif. Relativitas harga disebabkan karena seringkali antara harga dari suatu produk atau jasa saling mendukung, atau dapat bertolak belakang. Seringkali suatu produk atau jasa lebih mahal dibandingkan dengan yang dijual oleh perusahaan lain, akan tetapi harganya relatif menjadi murah karena adanya unsur tambahan dalam kualitas pelayanan, begitu pun sebaliknya.
Dari yang telah diuraikan diatas dapat dilihat bahwa persepsi tentang kualitas pelayanan dilahirkan oleh suatu penilaian yang menyeluruh (Global judgement) berdasarkan pengalaman yang diperoleh konsumen, antara lain pengalaman dalam kontak jasa melalui service encounters (moment of truth), the evidence service, image, dan price, kemudian dibandingkan dengan pelayanan yang diterimanya.
Pengalaman tersebut menjadi pembanding, yang pada akhirnya menentukan tingkat kepuasan ataupun ketidakpuasan, sehingga tindak lanjutnya adalah diperlukan kerangkan pengukuran kualitas pelayanan. Konsekuensinya, global judgement harus benar-benar dilakukan atas dasar kebenaran pelayanan, harga jasa dan pandangan ideal dari pelayanan dimaksud.

Pengukuran Kualitas Pelayanan
Terdapat berbagai macam model dalam pengukuran kualitas pelayanan (Tjiptono, 2000) yang meliputi antara lain:
  1. Gronroos Perceived Service Quality Model yang dibuat oleh Gronroos. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengukur harapan akan kualitas pelayanan (expected quality) dengan pengalaman kualitas pelayanan yang diterima (experinced quality), dan antara kualitas teknis (technical quality) dengan kualitas fungsi (functional quality). Titik fokus dalam perbandingan itu menggunakan citra perusahaan (corporate image) pemberi jasa. Citra perusahaan menurut Gronroos sangat mempengaruhi harapan dan pengalaman konsumen, sehingga dari keduanya akan melahirkan persepsi kualitas pelayanan secara total.
  2. Heskett’s Service Profit Chain Model. Model ini dikembangkan oleh Heskett’s dengan membuat rantai nilai profit. Dalam rantai nilai tersebut dijelaskan bahwa kualitas pelayanan internal (Internal quality service) lahir dari karyawan yang puas (employee satisfaction). Karyawan yang puas akan memberi dampak pada ketahanan karyawan (employee retention) dan produktivitas karyawan (employee productivity), yang pada gilirannya akan melahirkan kualitas pelayanan external yang baik. Kualitas pelayanan eksternal yang baik akan melahirkan kepuasan konsumen (customer Satisfaction), Loyalitas konsumen (customer loyalty), dan pada akhirnya meningkatkan minta konsumen terhadap jasa yang ditawarkan oleh perusahann atau organisasi.
  3. Normann’s service System. Model ini dikembangkan oleh Normann’s yang menyatakan bahwa sesungguhnya jasa itu ditentukan oleh partisipasi dari konsumen, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan tergantung pada interaksi dengan konsumen. Sistem manajemen pelayanan bertitik tolak pada budaya dan filosofi yang ada dalam perusahaan, dan dipengaruhi oleh segmen pasar, konsep pelayanan, image, dan sistem pemberian jasa.
  4. European Foundation for Quality mangement Model (EFQM Model). Model ini dikembangkan oleh Yayasan Eropa untuk manajemen mutu dan telah diterima secara internaional. Model ini ditemukan setelah lembaga tersebut melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan yang sukses di Eropa tanpa mempertimbangkan aspek keuangan. Organisasi dan hasil (organisation and results) merupakan titik tolak model ini, dimana kualitas mutu ditentukan oleh faktor kepemimpinan (leadership) dalam mengelola sumber daya manusia, strategi dan kebijakan, dan sumber daya lain yang dimiliki perusahaan. Proses secara baik terhadap faktor-faktor tersebut akan melahirkan kepuasan kepada karyawan, kepuasan kepada konsumen, dan dampak sosial yang berarti, dan ketiganya merupakan hasil bisnis yang sebenarnya.
  5. Service Performance Model (SERFERF Model), Model ini dikembangkan oleh Cronin dan Taylor yang mengukur tingkat kualitas pelayanan berdasarkan apa yang diharapkan oleh konsumen (expectation) dibandingkan dengan ukuran kinerja (performance) yang diberikan oleh perusahaan, dan derajat kepentingan (importance) yang dikehendaki oleh konsumen.
  6. Service Quality Model (SERVQUAL Model). Model ini dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry dalam (Zeithaml dan Bitner,2000;135) menggunakan pertanyaan dengan 5 dimensi kualitas pelayanan untuk mengukur persepsi konsumen. Pengukuran terhadap harapan konsumen (expectation) menggunakan 4 Formulasi yang meliputi; a.) Formulasi untuk mengukur keselarasan antara persepsi dengan harapan (matching expectations statements with perception statements); b.) Formulasi untuk mengukur perbandingan kualitas pelayanan dari perusahaan yang diukur dengan perusahaan lain yang lebih baik (referent expectation formats); c.) Formulasi untuk mengkombinasikan pernyataan harapan dengan persepsi (combined expectation/perception statements); d.) Formulasi untuk mengukur perbedaan harapan atas kualitas pelayanan yang diinginkan dan kualitas pelayanan yang mencukupi (expectations distunguishing between desired service and adquate service).

Minggu, 03 Mei 2015

Pelayanan Publik

PELAYANAN PUBLIK


Setiap orang mengharapkan jasa pelayanan yang diterima dan dirasakan sesuai dengan harapannya. Berdasarkan asas pelayanan umum, setiap masyarakat menginginkan pelayanan yang diterimahnya dari apartur pemerintah harus adil dan tanpa diskriminasi. Sebab aetiap warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Pelayanan yang bersahabat dan profesional sudah menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara negara.
Berkaitan dengan pelayanan publik, pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus mempersiapkan seluruh aparatnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan sopan santun dalam melayani masyarakat. Kemampuan aparat pelayanan dalam memberikan pelayanan yang baik (good service) merupakan syarat mutlak untuk menjaga citra instansinya. Sianipar (1998), mengatakan bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan atau mengurus keperluan seseorang atau kelompok orang. Melayani adalah meladeni/membantu mengurus keperluan atau kebutuhan seseorang sejak diajukan permintaan sampai penyampaian atau penyerahannya. Menurut Moenir (1998:26), pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.
Dalam memberikan layanan sangat terkait kepada siapa yang kita berikan layanan tersebut. Menurut Wijono (2000:17), pelanggan adalah seorang yang terkena dampak produk atau proses, dimana pelanggan dapat dilihat dari dua aspek yaitu pelanggan internal adalah mereka yang terkena dampak produk dan anggota perusahaan yang disebut pelanggan tetapi bukan pembeli, tetapi bukan anggota dari perusahaan yang menghasilkan produk tersebut, dan pelanggan external meliputi para pembeli dan yang berkepentingan lainnya, dapat perusahaan lain, instansi pemerintah, masyarakat dan lain-lain. Pelayanan itu diberikan kepada dua macam pelanggan, yaitu internal customer (orang yang terlibat dalam proses produksi produk dan jasa yang kita hasilkan) dan external customer (mereka yang berada di luar organisasi yang menerima barang atau jasa dari pemberi pelayanan) (Yoeti, 2000).
Dalam konteks pelayanan publik yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya, menurut Trenggono (1997) pelayanan pada hakekatnya berkaitan dengan perwujudan fungsi negara/pemerintahan untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi, membina serta mengarahkan setiap aspek kehidupan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang aman tertib, dinamis dan sejahtera dalam bernegara dan berbangsa. Oleh karen itu, Menpan (1993) menyebutkan dalam pelayanan publik harus memenuhi unsur-unsur dasar sebagai berikut: pertama, hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak. Kedua, Mutu proses dari hasil pelayanan harus diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu (Moenir, 1995). Dengan demikinam maka pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Menyimak pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kegiatan pelayanan publik diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Instansi pemerintah merupakan sebutan kolektif meliputi satuan kerja atau satuan orang kementrian, departemen, lembaga, pemerintahan non-departemen, kesekertariatan lembaga tertinggi dan tinggi negara, dan instansi pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Sebagai penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum.

Azas-Azas Pelayanan Publik
Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik menyebutkan bahwa untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi azas pelayanan sebagai berikut:
  1. Transparansi. Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
  2. Akuntabilitas. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Kondisional. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
  4. Partisipatif. Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
  5. Keamanan Hak. Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan status ekonomi.
  6. Keseimbangan Hak dan kewajiban. Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing- masing pihak.

Prinsip Pelayanan Publik
Adapaun prinsip pelayanan publik di dalam Keputusan MENPAT Nomor 63 tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut:
  1. Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit- belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
  2. Kejelasan. Persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik; unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dan sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
  3. Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
  4. Akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
  5. Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
  6. Tanggung jawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
  7. Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja dan pendukung lainnya
  8. yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
  9. Kemudahan akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
  10. Kedisiplinan, kesopan dan keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
  11. Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parker, toilet, tempat ibadah, dan lain- lain.

Standar Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib diataati oleh pemberi dan
atau penerima pelayanan. Keputusan MENPAT Nomor 63 tahun 2003 menyebutkan standar pelayanan publik sebagai berikut:
  1. Prosedur Pelayanan. Prosedur pelayanan yang diberlakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
  2. Waktu penyelesaian. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
  3. Biaya Pelayanan. Biaya/ tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
  4. Produk pelayanan. Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
  5. Sarana dan Prasarana. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
  6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan prilaku yang dibutuhkan.

Jenis Pelayanan Publik
Timbulnya pelayanan umum atau publik dikarenakan adanya kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacam- macam bentuknya sehingga pelayanan publik yang dilakukan juga ada beberapa macam.
Berdasarkan Keputusan MENPAN No. 63/ KEP/ M. PAN/ 7/ 2003 kegiatan pelayanan publik antara lain:
a. Pelayanan administratif
Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumendokumen ini antara lain Kartu Tanda Pendudukan (KTP), akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat kepemilikan atau penguasaan Tanah dan sebagainya.
b. Pelayanan barang
Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.
c. Pelayanan jasa
Yaitu pelayanan yang menghasikan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

Minggu, 26 April 2015

Kinerja Organisasi

Kinerja Organisasi


Faktor kritis yang berkaitan dengan keberhasilan jangka panjang organisasi adalah kemampuannya untuk mengukur seberapa baik karyawan-karyawannya berkarya dan menggunakan informasi tersebut guna memastikan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi memenuhi standar-standar yang telah ada sekarang dan akan terus meningkat sepanjang waktu. Penilaian kinerja adalah alat yang bermanfaat tidak hanya untuk mengevaluasi kerja para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Namun demikian, pada sisi lain, penilaian kinerja dapat menjadi sumber kerisauan dan frustasi bagi manajer dan karyawan. Terjadinya fenomena tersebut dikarenakan kerap disebabkan oleh ketidakpastian-ketidakpastian dan ambiquitas di seputar sistem penilaian kinerja. Artinya, penilaian kinerja dapat dianggap sebagai alat untuk mengevaluasi individu-individu memenuhi standar-standar kinerja yang telah ditetapkan. Penilaian kinerja dapat pula menjadi cara untuk membantu individu-individu mengelola kinerja mereka (Simamora, 1997).
Kinerja dapat dilihat dan berbagai sudut pandang, tergantung kepada tujuan masing-masing organisasi dan juga tergantung pada bentuk organisasi itu sendiri (misalnya, organisasi publik, swasta, bisnis, sosial atau keagamaan) mempunyai metode dan pendekatan dalam melakukan evaluasi dan penilaian kinerja organisasinya. Kinerja sening dihubungkan dengan tingkat produktivitas yang menunjukkan risiko input dan output dalam organisasi, bahkan dapat dilihat dan sudut performans dengan memberikan penekanan pada nilai efisiensi dan efektifitas yang dikaitkan dengan kualitas output yang dihasilkan oleh para pegawai berdasarkan berapa standar yang telah ditetapkan sebelumnya oleb organisasi yang bersangkutan (Gomes, 1999).

Penilalan Kinerja
Semua organisasi memiliki sarana-sarana formal dan informal untuk menilai kinerja personilinya. Penilaian kinerja dapat didefinisikan sebagai prosedur yang meliputi; (1) penetapan strandar kerja, (2) penilaian kinerja aktual personal dalam hubungannya dengan standar-standar yang telah ditetapkan organisasi, dan (3) untuk memberikan umpan balik kepada karyawan dengan tujuan memotivasi setiap perosnal tersebut untuk menghilangkan atau menghidari penurunan kinerja sehingga kinerja personal dalam organisasi terus meningkat (Dessler, 1997).
Penilaian kinerja adalah tentang kinerja karyawan dan akuntabilitas. Dalam dunia yang bersaing secara global, semua organisasi menuntut kinerja organisasinya yang tinggi. Sehingga dengan, karyawan-karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman perilakunya di masa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup berbagai aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam pelaksanaan pekerjaan. Penilaian kinerja merupakan salah satu fungsi mendasar personalia, yang kadang disebut juga dengan teknik kinerja, penilaian karyawan, evaluasi kinerja, evaluasi karyawan, atau penentuan peringkat personalia. Semua organisasi kemungkinan mengevaluasi atau menilai kinerja dalam beberapa cara. Pada organisasi yang kecil, evaluasi ini mungkin sifatnya informal. Di dalam organisasi yang besar, evaluasi atau penilaian kerja kemungkinan besar merupakan prosedur yang sistematik dimana kinerja sesungguhnya dan semua karyawan, manajemen profesional, teknisi, penjualan dan klerikal dinilai secara formal (Simamora, 1997).

Penilaian Kinerja Secara Formal
Penilaian pelaksanaan pekerjaan perlu dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara obyektif serta didokumentasikan secara sistematik. Hanya dengan demikian dua kepentingan utama yang telah disinggung di muka dapat dipenuhi. Hal ini perlu ditekankan karena tidak sedikit manajer yang beranggapan bahwa pelaksanaan penilaian prestasi kerja secara formal oleh bagian-bagian kepegawaian sebenarnya tidak diperlukan dan bahkan dipandang sebagai gangguan terhadap pelaksanaan kegiatan operasional. Artinya, banyak manajer yang berpendapat bahwa penilaian prestasi kerja para bawahan cukup diserahkan kepada atasan langsung masing-masing pegawai dan penilaian pun dilakukan secara informal saja. Argumentasi para manajer tersebut dikarena para manajer tersebut yang sehari-hani membimbing dan mengawasi para bawahannya dalam pelaksanaan tugas masing-masing, para manajer tersebu pulalah yang paling kompeten melakukan penilaian (Siagian, 1998).
Manfaat yang mendasar dan penilaian kinerja yang sistematis adalah bahwa penilaian dapat menghasilkan informasi yang sangat membantu pengambil keputusan dan pelaksanaannya tentang masalah-masalah, seperti promosi, kenaikan gaji, pemberhentian, dan mutasi. Penilaian tersebut menyajikan informasi sebelum dibutuhkan sehingga menghindarkan keputusan yang tiba-tiba jika harus diambil suatu keputusan. Jika keputusan diambil secara sistematik, maka proses pengambilannya pastilah tidak akan terlalu dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang baru terjadi atau oleh hal-hal yang melintas dalam ingatan penilai. Manfaat lain dari pemikiran secara formal adalah dapat merangsang dan membimbing pengembangan karyawan. Suatu program penilaian memberikan informasi dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan kepada karyawan (Flippo, 1996).
Performan pegawai dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan pegawai, dan juga kesempatan dan kejelasan tujuan kinerja yang diberikan oleh organisasi kepada seorang pegawai. Masing-masing aktor mempunyai peranan tertentu yang bisa mempengaruhi upaya perbaikan produktivitas. Banyak organisasi yang menggalakkan suatu kombinasi kinerja formal dan informal. Penilaian paling sering digunakan sebagai evaluasi primer. Kendatipun demikian, penilaian informal adalah paling membantu untuk umpan balik kinerja yang paling sering. Penilaian informal hendaknya tidak menggantikan evaluasi kinerja formal. Penilaian kinerja formal biasanya berlangsung pada periode waktu tertentu, lazimnya sekali atau dua kali setahun. Penilaian formal paling sering dibutuhkan oleh organisasi guna mengevaluasi kinerja karyawan (Simamora, 1997).

Penilaian Kinerja Secara Informal
Penilaian kinerja dapat saja terjadi manakala penilai merasa dibutuhkannya. Sebagal contoh, jika seorang karyawan secara konsisten memenuhi atau melebihi standar-standar, penilaian kinerja informal mungkin dibutuhkan untuk mengakui kenyataan tersebut. Diskusi-diskusi tentang kinerja dapat berlangsung di bermacam-macam tempat di dalam organisasi, mulai dan kantor manajer hingga ke kafetaria (Simamora, 1997).
Atasan langsung dan para pegawai yang dinilai itu tidak mempunyai peranan sama sekali dalam proses penilaian prestasi kerja para pegawai. Bahkan praktek kepegawaian yang lumrah terjadi ialah bahwa para atasan langsung yang memang bertanggung jawab melakukan penilaian yang sifatnya informal yang berlangsung terus menerus. Akan tetapi penilaian informal yang mereka lakukan harus memenuhi persyaratan obyektifitas dan keteraturan berdasarkan pola dan kebijaksanaan yang ditentukan bagi seluruh oleh bagian organisasi dan pada semua pegawai (Siagian, 1998).
Penilaian karyawan atas kinerja, kadang-kadang digunakan masalah yang mendasar dan penilaian ini adalah bahwa karyawan atau pegawai bisa menilai diri mereka sendiri lebih tinggi dan pada mereka dinilai oleh tim penilai secara pformal atau rekan kerja. Tim penilai yang menuntut penilaian, hendaknya mengetahui bahwa penilaian mereka dan penilaian pegawai dapat menimbulkan perbedaan yang menonjol dan standar yang digunakan secara formal. Apabila pegawai tidak dituntut dalam penilaian secara formal maka mereka akan menilai sesuai dengan yang ada dalam pikiran mereka sendiri, dan biasanya nilai yang mereka berikan lehih tinggi dan standar penilaian secara formal (Dessler, 1997).
Dengan demikian jelas bahwa dalam melakukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinyu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian. Interaksi positif tersebut tidak hanya menjamin persyaratan obyektifitas dan pendokumentasian yang rapi, akan tetapi juga memuaskan bagi para pegawai yang dinilai yang pada gilirannya menumbuhkan loyalitas dan kegairahan kerja karena mereka merasa memperoleh perlakuan yang adil. Telah diketahui bahwa merasa diperlakukan dengan adil merupakan salah sam prinsip manajemen sumber daya manusia yang sangat fundamental sifatnya dan karenanya hams dipegang teguh. Dalam praktek, interaksi positif dimaksud melibatkan tiga pihak, yaitu bagian kepegawaian, atasan langsung dan pegawai yang dinilai. Bentuk interaksi itu adalah sebagai berikut: Ketiga pihak yang terlibat harus memahami bahwa penilaian prestasi kerja merupakan suatu sistem yang bukan saja harus efektif melainkan juga diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Siagian, 1998).

Metode Penilaian Kinerja
Menyadari betapa penting dan besarnya kegunaan penilaian kinerja, banyak metode dibuat. Yang perlu diketahui bahwa tidak ada satupun metode yang benar-benar sempurna. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Werther dan Davis (1996) membagi metode-metode penilaian kinerja kedalam dua kelompok besar, yaitu metode penilaian yang berorientasi ke masa lalu (Past oriented appraisal method) dan yang berorientasi pada masa depan (Future oriented appraisal method). Pendekatan yang berorientasi ke masa lalu memiliki keuntungan dalam menilai kinerja pada masa lalu dan karyawan dapat memperoleh umpan balik yang dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan kinerjanya. Kelemahannya adalah kinerja yang sudah terjadi di masa lalu tidak dapat diubah lagi. Metode-metode yang berorientasi pada masa lalu adalah sebagai berikut:
  1. Skala Pemeringkatan (Rating scale). Merupakan cara yang paling lama dan yang paling banyak digunakan. Metode ini diterapkan dengan menyediakan evaluasi subyektif bagi kinerja individu dalam bentuk skala rendah ke tinggi atau sebaliknya.
  2. Daftar periksa (Checklist). Metode ini menghendaki penilai untuk menyeleksi pernyataan yang menggambarkan kinerja dan karakteristik karyawan.
  3. Metode penilaian terbatas (Forced choice method). Metode ini menghendaki penilai untuk memilih sata dan pernyataan yang paling sesuai dengan karyawan yang sedang dinilai.
  4. Metode kejadian kritis (Critical incident method). Metode ini menghendaki penilai untuk mencatat pertanyaan yang menggambarkan perilaku baik buruknya karyawan dihubungkan dengan kinerja mereka.
  5. Pencatatan kecakapan (Accoplishment record). Penilaian metode dilakukan dengan memperhatikan ketatan tentang kecakapan kerja karyawan yang terkait dengan aktivitas kerjanya.
  6. Skala peringkat berdasarkan perilaku kerja (Behaviourally anchored rating scale/BARS). Merupakan penerapan beberapa metode penilaian secara bertahap untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pekerjaan tertentu, dihubungkan dengan perilaku individu.
  7. Metode pengulasan kembali dan informasi lapangan (Field review method). Metode ini memberikan standarisasi yang lebih besar dalam hal pengulasan kembali (review). Dalam metode ini, pakar sumberdaya manusia turun ke lapangan mendampingi para penilai dan mencari informasi tentang kinerja karyawan pada penilai terkait.
  8. Tes kinerja dan observasi (Performance test and evaluation). Metode ini diterapkan bila jumlah pekerjaan terbatas dan dilakukan berdasankan tes pengetahuan dan keterampilan.
  9. Pendekatan evaluasi komparatif (Comparative evaluation approaches). Merupakan kumpulan dan metode-metode berbeda yang membandingkan kinerja karyawan secara berpasangan dengan karyawan lainnya.
Kelompok besar kedua dalam penilaian kinerja adalah metode yang berorientasi pada masa depan. Pendekatan ini terfokus pada kinerja masa depan dengan mengevaluasi potensi karyawan atau mempersiapkan tujuan kinerja masa depan. Ada empat metode yang sering digunakan yaitu:
  1. Penilaian diri sendiri (Self appraisal). Karyawan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri dimana tujuan yang hendak dicapai adalah pengembangan diri.
  2. Manajemen berorientasi pada sasaran (Management by objective). erupakan proses penilaian yang melibatkan karyawan dan pimpinan untuk bersama-sama menentukan sasaran yang bisa dipakai sebagai pedoman dalam penilaian tersebut.
  3. Penilaian psikologis (Psychological appraisal). Penilaian ini biasanya dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interviews), tes psikologi, diskusi dengan penilai dan pengulasan kembali terhadap evaluasi yang lain oleh psikologi industri. Lalu psikolog akan mencatat penilaian tentang kepandaian, emosi, motivasi dan karakteristik-karaktenistik kerja yang terkait dan merupakan potensi individu dan dapat memprediksi kinerja di masa depan.
  4. Penilaian pusat (Assessment centers). Metode ini tidak mendasarkan pada penilaian satu psikologi saja, melainkan dengan format penilaian standarisasi yang dilaksanakan dalam berbagai tipe dan banyak penilaian.