Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Konsumen
Pengertian
Kualitas
Dalam
kehidupan sehari-hari seringkali terdengar orang membicarakan masalah
kualitas, misalnya mengenai kualitas sebagian produk luar negeri dan
dalam negeri. Apa sesungguhnya kualitas itu? Pertanyaan ini sangat
banyak jawabannya, karena maknanya akan berlainan bagi setiap orang
dan tergantung pada konteksnya. Kualitas sendiri memiliki banyak
kriteria yang berubah secara terus menerus. David
Garvin (Tjiptono,
2000) mengidentifikasikan adanya lima alternatif perspektif kualitas
yang biasa digunakan, yaitu:
- Transcendental Approach, Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefenisikan dan dioperasionalkan. Biasanya hanya digunakan dan diterapkan dalam seni-seni seperti seni musik dan drama.
- Product-based approach, Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur.
- User-based approach, Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang-orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
- Manufacturing-based approach, Perspektif ini terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefenisikan kualitas sebagai sama dengan persyaratannya (Comformance to requirements) .
- Value-based approach, Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produknya paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling tepat dibeli(best-buy).
Revolusi
kualitas diseluruh dunia telah secara permanen telah mengubah cara
manusia menjalankan usaha. Dulu kualitas hanya terbatas pada
soal-soal teknis, akan tetapi kini sudah merupakan proses peningkatan
yang dinamis, berlangsung terus-menerus, dan melibatkan semua
kalangan usaha (Stampel
dalam Yun, Yong, dan Loh 1998: 33).
Lebih lanjut Yun,
Yong , dan Loh
(Stampel, 1998)
menyatakan bahwa kualitas memiliki sifat kumulatif. Kualitas bukanlah
entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah istilah yang luas,
yang mencakup totalitas dari semua karakteristik suatu produk atau
jasa yang membuat produk atau jasa tersebut unggul dan baik.Defenisi
kualitas menurut ISO (
international organization for standarization)
adalah :
- Kondisi yang sehat untuk tujuan atau pemakaian.
- Keselarasan dengan spesifikasi.
- Kebebasan dari segala kekurangan.
- Kepuasan pelanggan.
- Kredibilitas.
- Kebanggaan memiliki.
Menurut
Yun, Yong, dan Loh (Stampel,
1998: 4) kata
kualitas adalah totalitas dari fasilitas dan karakteristik suatu
produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang tersurat atau
tersirat. Defenisi menurut Goetsch
dan Davis
(Anastasia, 2000) kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan.
Defenisi
lain dikemukakan oleh Taguchi
yang menekankan pada kerugian yang harus dibayar oleh konsumen akibat
kegagalan suatu produk atau jasa. Taguchi
menyatakan bahwa kualitas adalah fungsi dari biaya dimana biaya dapat
diturunkan dengan proses perbaikan atau pengurangan variasi dalam
poduk atau variasi dalam proses (Taguchi
dalam Tjiptono,
2000).
Tidak
ada satupun defenisi kualitas yang sempurna. Akan tetapi setidaknya
terdapat tiga aspek kunci yang dapat dijadikan patokan untuk dapat
memahami defenisi jasa yang mana diantara ketiganya dapat
dikombinasikan oleh suatu perusahaan dalam mendefenisiskan suatu
kualitas jasa (Tjiptono,
2000: 12)
yaitu :
- Karakteristik kualitas, yaitu karakteristik output dari suatu proses yang penting bagi pelanggan. Karakteristik ini menuntut pemahaman yang mendalam mengenai pelanggan
- Karakteristik kunci kualitas, yaitu kombinasi pemahaman mengenai pelanggan dengan pemahaman mengenai proses
- Variabel kunci proses, yaitu pemahaman mengenai hubungan sebab akibat atas suatu proses yang dijadikan sebagai kunci yang dapat dimanipulasi atau dapat dikendalikan.
Dimensi
Kualitas Pelayanan
Parasuraman,
Zeithaml, Bitner, dan Berry (Tjiptono, 2000)
dalam
penelitiannya yang dikhususkan pada beberapa perusahaan jasa berhasil
mengidentifikasikan sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas
jasa. Kesepuluh faktor tersebut meliputi :
- Reliability, mencakup dua hal, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependalibility). Hal ini berarti bahwa perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya memberikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati.
- Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
- Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan harus terampil dan berpengetahuan agar dapat memberikan jasa tertentu.
- Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, dan saluran komunikasi mudah dihubungi.
- Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, keramahan yang dimiliki para contact personal (seperti resepsionis, operator telepon, customer service).
- Communication, artinya dapat memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
- Credibility, yaitu sifat jujur dan dapt dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahan, karakteristik pribadi contact personal, dan interaksi dengan pelanggan.
- Security, yaitu perasaan aman dari bahaya, risiko, atau keraguan-keraguan. Aspek ini meliputi keamanan fisik, keamanan keuangan, dan kerahasiaan.
- Understanding/Knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.
- Tangibles, yaitu bukti fisisk dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, dan representasi fisik dari jasa.
Dalam
perkembangannya, pada tahun 1988, Parasuraman
dan kawan-kawan
menemukan bahwa kesepuluh dimensi ini dapat dirangkum menjadi lima
dimensi (Zeithaml
dan Bitner, 2000)
yaitu :
- Reliability (keandalan), yaitu kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
- Responsivess (daya tanggap), yaitu keinginan perusahaan melalui karyawannya untuk membantu para pelanggan dan membnerikan pelayanan dengan tanggap.
- Assurance (jaminan), meliputy pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para karyawan, bebas dari bahaya, risiko, atau keragura-guan.
- Empathy (kemampuan pemahaman), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan kemampuan memahami kebutuhan para pelanggan.
- Tangibles (bukti fisik), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan
Kualitas
layanan (Service
quality) menurut
Zeithaml dan Bitner
(2000) merupakan salah satu komponen kritis dalam persepsi pelanggan.
Dalam bisnis jasa yang murni, kualitas pelayanan merupakan elemen
yang dominan dalam penilaian nasabah. Untuk memahami mengenai
kualitas pelayanan dalam konteks pelanggan, maka terdapat dua aspek
penting untuk dipahami, yaitu aspek sikap (attitude)
dan aspek
kepuasan (satisfaction).
Sikap adalah
ekspresi dari perasaan yang terdalam yang menunjukkan kecenderungan
apakah seseorang simpatik atau tidak terhadap suatu obyek, misalnya
terhadap merek atau pelayanan (Schiffman
dan Kanuk 2000).
Zeithaml
dan Bitner (2000) menyatakan kepuasan adalah tercapainya apa yang
diharapkan oleh seseorang terhadap suatu barang atau jasa. Secara
teknis, Zeithaml dan Bitner mendefenisikan kepuasan sebagai suatu
bentuk evaluasi pelanggan atas suatu produk atau jasa yang dapat
memenuhi kebutuhan (needs)
dan harapannya (expectation).
Selanjutnya, akan timbul ketidakpuasan (dissatisfaction)
manakala hasil dari suatu poduk atau jasa tidak dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan pelanggan.
Dari
kedua pengertian tersebut diatas maka tampak adanya perbedaan antara
pengertian sikap dan kepuasan. Sikap ternyata lebih menekankan kepada
ekspresi berupa perasaan atau tindakan senang atau tidak senang
terhadap sesuatu (barang, jasa, merek, atau pelayanan), sedangkan
kepuasan merupakan ungkapan perasaan seseorang terhadap suatu barang
atau jasa, setelah yang bersangkutan melakukan evaluasi antara apa
yang dibutuhkan atau diharapkan dengan apa yang diterima. Dengan
demikian, jika dihubungkan dengan hubungan transaksi atau pertukaran,
maka kepuasan, adalah hasil akhir dari sebuah transaksi atau
pertukaran antara produsen dengan konsumen.
Kotler
(2000),
menyatakan bahwa sesungguhnya nilai yang diterima pelanggan (customer
delivery value)
adalah total atau penjumlahan dari nilai pelanggan (nilai produk,
nilai pelayanan, nilai karyawan, dan nilai citra). Ditambah biaya
yang dikeluarkan oleh pelanggan (biaya moneter, biaya waktu, biaya
tenaga, biaya psikis).
Woodruff dan
Gardial (2000)
mendefenisikan nilai pelanggan sebagai persepsi dari pelanggan
tentang apa yang mereka harapkan, melalui produk atau jasa yang
diharapkan dapat memenuhi keinginan atau tujuan mereka.
Konsep
nilai pelanggan (Customer
value)
sebagaimana tersebut diatas menjadi begitu penting dalam menentukan
strategi pemasaran karena saat ini konsumen dihadapkan pada banyak
pilihan sehubungan dengan banyaknya produk atau jasa yang dihasilkan.
Dalam kaitan itu maka faktor kepuasan pelanggan (customer
satisfaction)
menjadi elemen penting dalam memberikan atau menambah nilai bagi
pelanggan. Konsep dan teori mengenai kepuasan konsumen telah
berkembang pesat dan telah mampu diklasifikasikan atas beberapa
pendekatan. Berikut ini dikemukakan beberapa teori yang berhubungan
dengan kepuasan konsumen.
The Expectancy – Disconfirmation Model
Teori
ini merupakan teori yang banyak digunakan dalam kajian mengenai
kepuasan konsumen (Woordruff
dan Gardial, 2000)
dan sering juga
dikenal dengan nama Teori Diskonfirmasi (disconfirmation
paradigm).
Dalam teori ini di tekankan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan
ditentukan oleh suatu proses evaluasi oleh konsumen, dimana persepsi
konsumen mengenai kinerja suatu produk atau jasa dibandingkan standar
kinerja yang diharapkan. Proses evaluasi itu disebut dengan proses
diskonfirmasi (disconfirmation
process).
Perbandingan
antara perpesi dengan kinerja tersebut akan melahirkan tiga
kemungkinan. Pertama, jika standar kinerja produk atau jasa sesuai
yang diharapkan maka yang terjadi adalah confirmation.
Kedua, jika terjadi standar kinerja di bawah yang diharapkan maka
yang terjadi adalah negative
disconfirmation,
dan Ketiga, standar kinerja melebihi apa yang diharapkan maka yang
tejadi adalah positive-disconfirmation.
Dari
uraian diatas terlihat bahwa konsep Expectancy-Diskonfirmation
pada dasarnya
menekankan bahwa konfirmasi terjadi manakala kinerja barang atau jasa
yang diterima cocok dengan standar, sedangkan diskonfirmasi terjadi
manakala kinerja yang diterima tidak sesuai dengan standar.
Konfirmasi melahirkan kepuasan dan diskonfirmasi melahirkan
ketidakpuasan. Kontradiksi ini akan berimplikasi pada standar proses
pelayanan dan tingkat kepuasan.
Teori Tingkat Perbandingan
Teori
diskonfirmasi menurut beberapa ahli memiliki beberapa kelemahan.
Latour dan Peat
(1979)
mengkritik teori ini dengan alasan, teori ini hanya mengasumsikan
bahwa faktor utama dari kepuasan konsumen adalah harapan prediktif
yang dibentuk oleh perusahaan, dan mengabaikan sumber lain dari
harapan prediktif yang dibentuk oleh perusahaan, dan mengabaikan
sumber lain dari harapan konsumen, seperti pengalaman masa lalu
terhadap produk yang sama. .
Latour dan Peat memodifikasi
teori diskonfirmasi dengan mengajukan tiga determinan dasar dari
tingkatan perbandingan produk, yaitu (1) pengalaman sebelumnya dari
konsumen terhadap yang serupa; (2) situasi yang menimbulkan harapan,
misalnya iklan, promosi lainnya dan; (3) pengalaman konsumen lainnya
yang bertindak sebagai referensi.
Teori
ini menyatakan bahwa seseorang akan merasa puas bila rasio hasil
(outcome) yang
diperolehnya dibandingkan input dirasakan fair
dan adil.
Dengan kata lain, bahwa jika apa yang diterima oleh konsumen tidak
sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan/ dikorbankan (Out
Come dibanding
Input ) maka
konsumen akan merasakan ketidakpuasan.
Memahami
teori diatas, secara eksplisit lebih menekankan pada rasio hasil
dibandingkan dengan input. Artinya, teori ini lebih menitikberatkan
pada unsur fungsi benefit,
tanpa
mempertimbangkan unsur lain, seperti unsur emosional konsumen.
Dibidang jasa unsur emosional seperti penghargaan (respect)
dan pengakuan (recognition)
lebih dominan dibanding unsur fungsi produk atau jasa.
Teori
atribut dikembangkan oleh Weiner
(1971) yang
kemudian dikembangkan oleh Oliver dan DeSarbo (1998), dan Engel
(1990). Menurut teori atribut, ada tiga penyebab yang menentukan
keberhasalan atau kegagalan suatu hasil (Outcame),
sehingga dari padanya dapat ditentukan apakah suatu pembelian
memuaskan atau tidak memuaskan. Pertama,
faktor stabilitas atau variabilitas, apakah faktor penyebabnya
bersifat sementara atau permanen. Kedua,
Locuss Causality, yaitu apakah faktor penyebabnya berhubungan dengan
konsumen (external
atribut), atau
dari pemberi jasa (internal
atribut).
Ketiga,
Controlability, apakah tersebut berada dalam kendali ataukah berasal
dari faktor lain yang tidak dapat dipengaruhi.
Faktor Kualitas Pelayanan dalam Menentukan Kepuasan Konsumen
Telah
dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan merupakan suatu ungkapan
perasaan seseorang yang diperoleh setelah melakukan evaluasi kinerja
terhadap suatu produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan atau
harapannya termasuk dalam hal ini adalah kinerja dari kualitas
pelayanan yang diberikan. Menurut Zeithaml
dan Bitner (2000: 81),
kualitas
pelayanan ditentukan oleh persepsi konsumen dalam dua hal. Pertama,
persepsi kualitas pelayanan dalam arti hasil teknis (technical
outcome) yang
diberikan oleh penyedia jasa, dan kedua, kualitas dalam arti hasil
dari suatu proses jasa (outcome
process) yang
diwujudkan dalam bentuk bagaimana jasa itu diberikan.
Zeithaml
dan Bitner (2000:75),
menyatakan bahwa
kepuasan pelanggan (customer
satisfaction) dipengaruhi
oleh faktor kualitas pelayanan, kualitas produk, harga, faktor
situasi, faktor pribadi/ individu pelanggan. Secara visual, Zeithaml
dan Bitner
menggambarkan
pengaruh faktor-faktor tersebut sebagaimana dalam gambar di bawah.
Dalam bisnis jasa, dengan karakteristik yang tidak berwujud
(Intangibility),
bervariasi (variability),
dan tidak
terpisahkan (inseparability),
maka faktor kualitas pelayanan (service
quality) menjadi
salah satu strategi yang sangat menentukan dalam persaingan. Kualitas
pelayanan dalam bisnis jasa hanya dapat diukur melalui persepsi
konsumen terhadap kualitas jasa yang diberikan pemberi jasa.
Konstruksi
persepsi konsumen terhadap perusahaan jasa, dipengaruhi oleh
pengalamannya dalam mengkomsumsi atau menerima pelayanan pada
waktu-waktu sebelumnya. Penilaian terhadap kualitas pelayanan
tersebut dilahirkan oleh perbandingan antara apa yang seharusnya
diterima (expectation)
sebagaimana yang
pernah dirasakan, dengan kinerja kualitas pelayanan yang diterimanya
(perfomance)
(Kadir, 2000).
Dari perbandingan tersebut maka kualitas pelayanan pada prisipnya
adalah derajat atau tingkatan yang membedakan antara pengalaman
menerima suatu pelayanan dibandingkan dengan kualitas pelayanan yang
diterima.
Dalam
bisnis jasa, persepsi pelanggan tentang kualitas pelayanan suatu
perusahaan jasa menurut
Zeithaml dan
Bitner (2000)
dibentuk oleh
empat hal sebagai berikut:
- Service Encounters (Moment of Truth)
Pelanggan
mempersiapkan kualitas pelayanan berdasarkan kontak fisik yang
dilakukan dengan penyedia jasa (Service
provider).
Kontak fisik ini terdiri atas tiga bentuk. a.) Remote
Encounters,
yaitu kontak yang terjadi antara pelanggan dengan bukan manusia,
tetapi melalui peralatan yang disiapkan oleh pemberi jasa; b.) Phone
Encounter, yaitu
kontak yang terjadi antara pelanggan dengan orang dari penyedia jasa
tetapi melalui bantuan alat komunikasi; c.) Face
to face encounters, yaitu
kontak langsung melalui tatap muka antara petugas pemberi jasa dengan
konsumen.
- The Evidence of Services
Jasa
pada umumnya bersifat tidak berwujud, sehingga baik konsumen maupun
pemberi jasa berusaha mengasosiasikan hubungan transaksi mereka
melalui bukti-bukti fisik. Ada tiga faktor yang menentukan dalam
persepsi pelanggan berkaitan dengan asosiasi mereka terhadap kualitas
jasa yang diberikan oleh pemberi jasa. a.) People,
atau
orang/petugas pemberi jasa dalam melakukan interaksi dengan konsumen;
b.) Physical
evidence, atau
bukti-bukti fisik yang mempengaruhi persepsi konsumen, misalnya ruang
pelayanan, suasana pelayanan, gedung, tempat parkir, atau penggunaan
teknologi pelayanan; c.)
Process, yaitu
persepsi pelanggan mengenai bagaimana cara kerja organisas pemberi
jasa, misalnya kebijakan dan peraturan pemberi jasa terhadap
konsumen, aliran operasi, dan aliran informasi yang diberikan kepada
pelanggan.
- Image
Image
atau citra
adalah persepsi pelanggan terhadap perusahaan pemberi jasa (corporte
image) yang
merupakan cerminan dari misi, filosofi, nilai inti, dan budaya kerja
suatu perusahaan (Nicholas
Ind,1997:43).
Image
dalam persepsi kualitas pelayanan oleh pelanggan berkaitan dengan
kualitas teknis pemberi jasa, seperti pengalaman, pengetahuan, dan
teknologi dari pemberi jasa, serta kualitas fungsional yang meliputi
perilaku, penampilan, sikap, dan kesadaran dalam memberikan pelayanan
dari pemberi jasa. Citra perusahaan dibentuk melalui komunikasi
seperti iklan, Public
relations, citra
fisik, atau komunikasi dari mulut ke mulut, yang dikombinasikan
dengan pengalaman pelanggan itu sendiri.
- Price
Pengaruh
harga dalam hubungannya dengan kualitas pelayanan dalam persepsi
konsumen
bersifat relatif. Relativitas harga disebabkan karena seringkali
antara harga dari suatu produk atau jasa saling mendukung, atau dapat
bertolak belakang. Seringkali suatu produk atau jasa lebih mahal
dibandingkan dengan yang dijual oleh perusahaan lain, akan tetapi
harganya relatif menjadi murah karena adanya unsur tambahan dalam
kualitas pelayanan, begitu pun sebaliknya.
Dari
yang telah diuraikan diatas dapat dilihat bahwa persepsi tentang
kualitas pelayanan dilahirkan oleh suatu penilaian yang menyeluruh
(Global
judgement) berdasarkan
pengalaman yang diperoleh konsumen, antara lain pengalaman dalam
kontak jasa melalui service
encounters (moment of truth), the evidence service, image, dan
price, kemudian
dibandingkan dengan pelayanan yang diterimanya.
Pengalaman
tersebut menjadi pembanding, yang pada akhirnya menentukan tingkat
kepuasan ataupun ketidakpuasan, sehingga tindak lanjutnya adalah
diperlukan kerangkan pengukuran kualitas pelayanan. Konsekuensinya,
global judgement
harus benar-benar dilakukan atas dasar kebenaran pelayanan, harga
jasa dan pandangan ideal dari pelayanan dimaksud.
Pengukuran
Kualitas Pelayanan
Terdapat
berbagai macam model dalam pengukuran kualitas pelayanan (Tjiptono,
2000) yang
meliputi antara lain:
- Gronroos Perceived Service Quality Model yang dibuat oleh Gronroos. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengukur harapan akan kualitas pelayanan (expected quality) dengan pengalaman kualitas pelayanan yang diterima (experinced quality), dan antara kualitas teknis (technical quality) dengan kualitas fungsi (functional quality). Titik fokus dalam perbandingan itu menggunakan citra perusahaan (corporate image) pemberi jasa. Citra perusahaan menurut Gronroos sangat mempengaruhi harapan dan pengalaman konsumen, sehingga dari keduanya akan melahirkan persepsi kualitas pelayanan secara total.
- Heskett’s Service Profit Chain Model. Model ini dikembangkan oleh Heskett’s dengan membuat rantai nilai profit. Dalam rantai nilai tersebut dijelaskan bahwa kualitas pelayanan internal (Internal quality service) lahir dari karyawan yang puas (employee satisfaction). Karyawan yang puas akan memberi dampak pada ketahanan karyawan (employee retention) dan produktivitas karyawan (employee productivity), yang pada gilirannya akan melahirkan kualitas pelayanan external yang baik. Kualitas pelayanan eksternal yang baik akan melahirkan kepuasan konsumen (customer Satisfaction), Loyalitas konsumen (customer loyalty), dan pada akhirnya meningkatkan minta konsumen terhadap jasa yang ditawarkan oleh perusahann atau organisasi.
- Normann’s service System. Model ini dikembangkan oleh Normann’s yang menyatakan bahwa sesungguhnya jasa itu ditentukan oleh partisipasi dari konsumen, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan tergantung pada interaksi dengan konsumen. Sistem manajemen pelayanan bertitik tolak pada budaya dan filosofi yang ada dalam perusahaan, dan dipengaruhi oleh segmen pasar, konsep pelayanan, image, dan sistem pemberian jasa.
- European Foundation for Quality mangement Model (EFQM Model). Model ini dikembangkan oleh Yayasan Eropa untuk manajemen mutu dan telah diterima secara internaional. Model ini ditemukan setelah lembaga tersebut melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan yang sukses di Eropa tanpa mempertimbangkan aspek keuangan. Organisasi dan hasil (organisation and results) merupakan titik tolak model ini, dimana kualitas mutu ditentukan oleh faktor kepemimpinan (leadership) dalam mengelola sumber daya manusia, strategi dan kebijakan, dan sumber daya lain yang dimiliki perusahaan. Proses secara baik terhadap faktor-faktor tersebut akan melahirkan kepuasan kepada karyawan, kepuasan kepada konsumen, dan dampak sosial yang berarti, dan ketiganya merupakan hasil bisnis yang sebenarnya.
- Service Performance Model (SERFERF Model), Model ini dikembangkan oleh Cronin dan Taylor yang mengukur tingkat kualitas pelayanan berdasarkan apa yang diharapkan oleh konsumen (expectation) dibandingkan dengan ukuran kinerja (performance) yang diberikan oleh perusahaan, dan derajat kepentingan (importance) yang dikehendaki oleh konsumen.
- Service Quality Model (SERVQUAL Model). Model ini dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry dalam (Zeithaml dan Bitner,2000;135) menggunakan pertanyaan dengan 5 dimensi kualitas pelayanan untuk mengukur persepsi konsumen. Pengukuran terhadap harapan konsumen (expectation) menggunakan 4 Formulasi yang meliputi; a.) Formulasi untuk mengukur keselarasan antara persepsi dengan harapan (matching expectations statements with perception statements); b.) Formulasi untuk mengukur perbandingan kualitas pelayanan dari perusahaan yang diukur dengan perusahaan lain yang lebih baik (referent expectation formats); c.) Formulasi untuk mengkombinasikan pernyataan harapan dengan persepsi (combined expectation/perception statements); d.) Formulasi untuk mengukur perbedaan harapan atas kualitas pelayanan yang diinginkan dan kualitas pelayanan yang mencukupi (expectations distunguishing between desired service and adquate service).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar