Publikasi

Minggu, 26 April 2015

Kinerja Organisasi

Kinerja Organisasi


Faktor kritis yang berkaitan dengan keberhasilan jangka panjang organisasi adalah kemampuannya untuk mengukur seberapa baik karyawan-karyawannya berkarya dan menggunakan informasi tersebut guna memastikan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi memenuhi standar-standar yang telah ada sekarang dan akan terus meningkat sepanjang waktu. Penilaian kinerja adalah alat yang bermanfaat tidak hanya untuk mengevaluasi kerja para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Namun demikian, pada sisi lain, penilaian kinerja dapat menjadi sumber kerisauan dan frustasi bagi manajer dan karyawan. Terjadinya fenomena tersebut dikarenakan kerap disebabkan oleh ketidakpastian-ketidakpastian dan ambiquitas di seputar sistem penilaian kinerja. Artinya, penilaian kinerja dapat dianggap sebagai alat untuk mengevaluasi individu-individu memenuhi standar-standar kinerja yang telah ditetapkan. Penilaian kinerja dapat pula menjadi cara untuk membantu individu-individu mengelola kinerja mereka (Simamora, 1997).
Kinerja dapat dilihat dan berbagai sudut pandang, tergantung kepada tujuan masing-masing organisasi dan juga tergantung pada bentuk organisasi itu sendiri (misalnya, organisasi publik, swasta, bisnis, sosial atau keagamaan) mempunyai metode dan pendekatan dalam melakukan evaluasi dan penilaian kinerja organisasinya. Kinerja sening dihubungkan dengan tingkat produktivitas yang menunjukkan risiko input dan output dalam organisasi, bahkan dapat dilihat dan sudut performans dengan memberikan penekanan pada nilai efisiensi dan efektifitas yang dikaitkan dengan kualitas output yang dihasilkan oleh para pegawai berdasarkan berapa standar yang telah ditetapkan sebelumnya oleb organisasi yang bersangkutan (Gomes, 1999).

Penilalan Kinerja
Semua organisasi memiliki sarana-sarana formal dan informal untuk menilai kinerja personilinya. Penilaian kinerja dapat didefinisikan sebagai prosedur yang meliputi; (1) penetapan strandar kerja, (2) penilaian kinerja aktual personal dalam hubungannya dengan standar-standar yang telah ditetapkan organisasi, dan (3) untuk memberikan umpan balik kepada karyawan dengan tujuan memotivasi setiap perosnal tersebut untuk menghilangkan atau menghidari penurunan kinerja sehingga kinerja personal dalam organisasi terus meningkat (Dessler, 1997).
Penilaian kinerja adalah tentang kinerja karyawan dan akuntabilitas. Dalam dunia yang bersaing secara global, semua organisasi menuntut kinerja organisasinya yang tinggi. Sehingga dengan, karyawan-karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman perilakunya di masa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup berbagai aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam pelaksanaan pekerjaan. Penilaian kinerja merupakan salah satu fungsi mendasar personalia, yang kadang disebut juga dengan teknik kinerja, penilaian karyawan, evaluasi kinerja, evaluasi karyawan, atau penentuan peringkat personalia. Semua organisasi kemungkinan mengevaluasi atau menilai kinerja dalam beberapa cara. Pada organisasi yang kecil, evaluasi ini mungkin sifatnya informal. Di dalam organisasi yang besar, evaluasi atau penilaian kerja kemungkinan besar merupakan prosedur yang sistematik dimana kinerja sesungguhnya dan semua karyawan, manajemen profesional, teknisi, penjualan dan klerikal dinilai secara formal (Simamora, 1997).

Penilaian Kinerja Secara Formal
Penilaian pelaksanaan pekerjaan perlu dilakukan secara formal berdasarkan serangkaian kriteria yang ditetapkan secara rasional serta diterapkan secara obyektif serta didokumentasikan secara sistematik. Hanya dengan demikian dua kepentingan utama yang telah disinggung di muka dapat dipenuhi. Hal ini perlu ditekankan karena tidak sedikit manajer yang beranggapan bahwa pelaksanaan penilaian prestasi kerja secara formal oleh bagian-bagian kepegawaian sebenarnya tidak diperlukan dan bahkan dipandang sebagai gangguan terhadap pelaksanaan kegiatan operasional. Artinya, banyak manajer yang berpendapat bahwa penilaian prestasi kerja para bawahan cukup diserahkan kepada atasan langsung masing-masing pegawai dan penilaian pun dilakukan secara informal saja. Argumentasi para manajer tersebut dikarena para manajer tersebut yang sehari-hani membimbing dan mengawasi para bawahannya dalam pelaksanaan tugas masing-masing, para manajer tersebu pulalah yang paling kompeten melakukan penilaian (Siagian, 1998).
Manfaat yang mendasar dan penilaian kinerja yang sistematis adalah bahwa penilaian dapat menghasilkan informasi yang sangat membantu pengambil keputusan dan pelaksanaannya tentang masalah-masalah, seperti promosi, kenaikan gaji, pemberhentian, dan mutasi. Penilaian tersebut menyajikan informasi sebelum dibutuhkan sehingga menghindarkan keputusan yang tiba-tiba jika harus diambil suatu keputusan. Jika keputusan diambil secara sistematik, maka proses pengambilannya pastilah tidak akan terlalu dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang baru terjadi atau oleh hal-hal yang melintas dalam ingatan penilai. Manfaat lain dari pemikiran secara formal adalah dapat merangsang dan membimbing pengembangan karyawan. Suatu program penilaian memberikan informasi dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan kepada karyawan (Flippo, 1996).
Performan pegawai dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan pegawai, dan juga kesempatan dan kejelasan tujuan kinerja yang diberikan oleh organisasi kepada seorang pegawai. Masing-masing aktor mempunyai peranan tertentu yang bisa mempengaruhi upaya perbaikan produktivitas. Banyak organisasi yang menggalakkan suatu kombinasi kinerja formal dan informal. Penilaian paling sering digunakan sebagai evaluasi primer. Kendatipun demikian, penilaian informal adalah paling membantu untuk umpan balik kinerja yang paling sering. Penilaian informal hendaknya tidak menggantikan evaluasi kinerja formal. Penilaian kinerja formal biasanya berlangsung pada periode waktu tertentu, lazimnya sekali atau dua kali setahun. Penilaian formal paling sering dibutuhkan oleh organisasi guna mengevaluasi kinerja karyawan (Simamora, 1997).

Penilaian Kinerja Secara Informal
Penilaian kinerja dapat saja terjadi manakala penilai merasa dibutuhkannya. Sebagal contoh, jika seorang karyawan secara konsisten memenuhi atau melebihi standar-standar, penilaian kinerja informal mungkin dibutuhkan untuk mengakui kenyataan tersebut. Diskusi-diskusi tentang kinerja dapat berlangsung di bermacam-macam tempat di dalam organisasi, mulai dan kantor manajer hingga ke kafetaria (Simamora, 1997).
Atasan langsung dan para pegawai yang dinilai itu tidak mempunyai peranan sama sekali dalam proses penilaian prestasi kerja para pegawai. Bahkan praktek kepegawaian yang lumrah terjadi ialah bahwa para atasan langsung yang memang bertanggung jawab melakukan penilaian yang sifatnya informal yang berlangsung terus menerus. Akan tetapi penilaian informal yang mereka lakukan harus memenuhi persyaratan obyektifitas dan keteraturan berdasarkan pola dan kebijaksanaan yang ditentukan bagi seluruh oleh bagian organisasi dan pada semua pegawai (Siagian, 1998).
Penilaian karyawan atas kinerja, kadang-kadang digunakan masalah yang mendasar dan penilaian ini adalah bahwa karyawan atau pegawai bisa menilai diri mereka sendiri lebih tinggi dan pada mereka dinilai oleh tim penilai secara pformal atau rekan kerja. Tim penilai yang menuntut penilaian, hendaknya mengetahui bahwa penilaian mereka dan penilaian pegawai dapat menimbulkan perbedaan yang menonjol dan standar yang digunakan secara formal. Apabila pegawai tidak dituntut dalam penilaian secara formal maka mereka akan menilai sesuai dengan yang ada dalam pikiran mereka sendiri, dan biasanya nilai yang mereka berikan lehih tinggi dan standar penilaian secara formal (Dessler, 1997).
Dengan demikian jelas bahwa dalam melakukan penilaian atas prestasi kerja para pegawai harus terdapat interaksi positif dan kontinyu antara para pejabat pimpinan dan bagian kepegawaian. Interaksi positif tersebut tidak hanya menjamin persyaratan obyektifitas dan pendokumentasian yang rapi, akan tetapi juga memuaskan bagi para pegawai yang dinilai yang pada gilirannya menumbuhkan loyalitas dan kegairahan kerja karena mereka merasa memperoleh perlakuan yang adil. Telah diketahui bahwa merasa diperlakukan dengan adil merupakan salah sam prinsip manajemen sumber daya manusia yang sangat fundamental sifatnya dan karenanya hams dipegang teguh. Dalam praktek, interaksi positif dimaksud melibatkan tiga pihak, yaitu bagian kepegawaian, atasan langsung dan pegawai yang dinilai. Bentuk interaksi itu adalah sebagai berikut: Ketiga pihak yang terlibat harus memahami bahwa penilaian prestasi kerja merupakan suatu sistem yang bukan saja harus efektif melainkan juga diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Siagian, 1998).

Metode Penilaian Kinerja
Menyadari betapa penting dan besarnya kegunaan penilaian kinerja, banyak metode dibuat. Yang perlu diketahui bahwa tidak ada satupun metode yang benar-benar sempurna. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Werther dan Davis (1996) membagi metode-metode penilaian kinerja kedalam dua kelompok besar, yaitu metode penilaian yang berorientasi ke masa lalu (Past oriented appraisal method) dan yang berorientasi pada masa depan (Future oriented appraisal method). Pendekatan yang berorientasi ke masa lalu memiliki keuntungan dalam menilai kinerja pada masa lalu dan karyawan dapat memperoleh umpan balik yang dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan kinerjanya. Kelemahannya adalah kinerja yang sudah terjadi di masa lalu tidak dapat diubah lagi. Metode-metode yang berorientasi pada masa lalu adalah sebagai berikut:
  1. Skala Pemeringkatan (Rating scale). Merupakan cara yang paling lama dan yang paling banyak digunakan. Metode ini diterapkan dengan menyediakan evaluasi subyektif bagi kinerja individu dalam bentuk skala rendah ke tinggi atau sebaliknya.
  2. Daftar periksa (Checklist). Metode ini menghendaki penilai untuk menyeleksi pernyataan yang menggambarkan kinerja dan karakteristik karyawan.
  3. Metode penilaian terbatas (Forced choice method). Metode ini menghendaki penilai untuk memilih sata dan pernyataan yang paling sesuai dengan karyawan yang sedang dinilai.
  4. Metode kejadian kritis (Critical incident method). Metode ini menghendaki penilai untuk mencatat pertanyaan yang menggambarkan perilaku baik buruknya karyawan dihubungkan dengan kinerja mereka.
  5. Pencatatan kecakapan (Accoplishment record). Penilaian metode dilakukan dengan memperhatikan ketatan tentang kecakapan kerja karyawan yang terkait dengan aktivitas kerjanya.
  6. Skala peringkat berdasarkan perilaku kerja (Behaviourally anchored rating scale/BARS). Merupakan penerapan beberapa metode penilaian secara bertahap untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pekerjaan tertentu, dihubungkan dengan perilaku individu.
  7. Metode pengulasan kembali dan informasi lapangan (Field review method). Metode ini memberikan standarisasi yang lebih besar dalam hal pengulasan kembali (review). Dalam metode ini, pakar sumberdaya manusia turun ke lapangan mendampingi para penilai dan mencari informasi tentang kinerja karyawan pada penilai terkait.
  8. Tes kinerja dan observasi (Performance test and evaluation). Metode ini diterapkan bila jumlah pekerjaan terbatas dan dilakukan berdasankan tes pengetahuan dan keterampilan.
  9. Pendekatan evaluasi komparatif (Comparative evaluation approaches). Merupakan kumpulan dan metode-metode berbeda yang membandingkan kinerja karyawan secara berpasangan dengan karyawan lainnya.
Kelompok besar kedua dalam penilaian kinerja adalah metode yang berorientasi pada masa depan. Pendekatan ini terfokus pada kinerja masa depan dengan mengevaluasi potensi karyawan atau mempersiapkan tujuan kinerja masa depan. Ada empat metode yang sering digunakan yaitu:
  1. Penilaian diri sendiri (Self appraisal). Karyawan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri dimana tujuan yang hendak dicapai adalah pengembangan diri.
  2. Manajemen berorientasi pada sasaran (Management by objective). erupakan proses penilaian yang melibatkan karyawan dan pimpinan untuk bersama-sama menentukan sasaran yang bisa dipakai sebagai pedoman dalam penilaian tersebut.
  3. Penilaian psikologis (Psychological appraisal). Penilaian ini biasanya dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interviews), tes psikologi, diskusi dengan penilai dan pengulasan kembali terhadap evaluasi yang lain oleh psikologi industri. Lalu psikolog akan mencatat penilaian tentang kepandaian, emosi, motivasi dan karakteristik-karaktenistik kerja yang terkait dan merupakan potensi individu dan dapat memprediksi kinerja di masa depan.
  4. Penilaian pusat (Assessment centers). Metode ini tidak mendasarkan pada penilaian satu psikologi saja, melainkan dengan format penilaian standarisasi yang dilaksanakan dalam berbagai tipe dan banyak penilaian.

Senin, 13 April 2015

Desentralisasi Fiskal dan Pembiayaan Pembangunan Daerah

DESENTRALISASI FISKAL DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAERAH


Desentralisasi Fiskal
Sebagaima yang telah dijelaskan, desentralisasi merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, utamanya memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada rakyat. Selain itu, desentralisasi dapat menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis pada tingkat daerah. Melalui instrumen desentralisasi akan terwujud pelimpahan wewenangan dan kekuasaan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power) (Smith, 1985), dan Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Mills (1994) menyebutkan desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat dan mendorong lahirnya kerjasama yang sinergi antara keduanya.
Oktarida (2012) menyebutkan dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, latar belakang atau pengalaman suatu negara, pengaruh dari globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan respons terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Selain hal tersebut, Mills (1994) menyatakan bahwa pemerintah pusat sangat lamban dalam memberikan respon terhadap tuntutan masyarakat, sehingga dengan adanya desentralisasi yang kemudian membuat pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan keinginan rakyat.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Muluk (2006) menyebutkan desentralisasi fiskal, merupakan komponen utama dari desentralisasi, karena desentralisasi berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik, maka mereka harus mendapatdukungan sumber-sumber keuangan yang memadai (Sidik, 2002). Instrumen pemerintah daerah untuk mengelola keunagn publik dengan maksimalkan pendapatan daerah adalah desentralisasi fiskal. Artinya, tanpa desentalisasi fiskal maka daerah tidak akan dapat memenej potensi keuangan publiknya secara baik.
Bird dan Vailancourt (2000) menjelaskan kebijakan desentralisasi fiskal dalam konteks desentralisasi dapat meloloskan suatu negara dari berbagai jebakan ketidak efesienan, ketidak efektifan pemerintahan, ketidak stabilan makro ekonomi, dan ketidak cukupan pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi dan efisiensi biaya. Desentralisasi fiskal memperbai akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana, serta berbagi beban keuangan kawasan dan kota (Todaro dan Smith, 2003). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld et. al., 2004 dalam Oktarida, 2012).
Menurut Oates (2008) desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada tingkat lokal, karena pemerintah sub nasional atau pemerintah lokal akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada tingkat pemerintah lokal akan lebih didengarkan dan pilihan dan penentuan kebutuhan publik yang bersifat lokalistik lebih berguna bagi efisensi dan pengalokasiannya. Lebih lanjut Oates (2008) juga menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Sistem belanja infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah lokal lebih memacu pertumbuhan ekonomi lokal dibandingkan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran belanjanya sendiri sehingga belanja akan lebih efisien, sehingga dapat memuaskan kebutuhan masyarakat pada tingkat lokal, karena pemerintah lokal lebih mengetahui keadaannya.
Senada dengan Oates, Barzelay (2001) menyebutkan melalui desentralisasi fiskal terkandung tiga misi utama, yaitu: Pertama, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya daerah; kedua, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat lokal; dan ketiga, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam proses pembangunan lokal. Dengan bahasa lain, dengan desentralisasi fiskal diharapkan untuk perbaikan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, perbaikan akuntabilitas publik, serta mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan daerah, utamanya pembangunan ekonomi.
Secara umum, kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai ihtiar dengan tujuan untuk menjaga rasio keseimbangan fiskal antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada sisi yang lain, dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat berkreasi dan berinovasi dalam pembangunan daerah sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah, tanpa tidak terlalu besar menggantungkan kemampuan keuangan daerahnya kepada pemerintah pusat. Walaupun dalam konteks Indonesia, kenyataannya daerah sebagai daerah otonom masih sangat tinggi tingkat ketergantungan fiskal terahadap pusat melalui dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana dekonsentrasi. Berkaitan dengan tujuan desentraliusasi fiskal tersebut, Mardiasmo (2004) menyebutkan tujuan dari desentralisasi fiskal sebagai berikut:

    1. Mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar daerah;
    2. Meningkatkan layanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan publik antar daerah;
    3. Meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya nasioanl;
    4. Tata keloal, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan transfer ke darerah yang tepat sasarn, tepat waktu, efesien, dan adil; dan
    5. Mendukung kesinambuang fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu bentuk riil dari pengimplemenatasian teori desentralisasi. Melalui desntralisasi fiskla, daerah sebagai daerah otonom dapat memenej potensi dan sumberdaya pendapatan keuangan daerah secara efektif dan efisien. Secara umum, sumber penadapatn daerah terdiri dari pajak, retrebusi, hibah, dan pinjaman (Smith, 1985: 147). Menurut Humes IV (Muluk, 2009: 142) menyebutkan sumber keuangan daerah terdiri dari locally raised revenue (pendapatan asli daerah), transferred or assigned income (dana transfer dari pemerinta atasan), dan loans (pinjaman). Sumber-sumber pendapatan daerah tersebut dikelolah oleh daerah sebagai sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan, pembanguan, dan pelayanan publik sesuai dengan kewenangan dan urusan yang diberikan kepadanya.

Pendapatan Asli Daerah Sebagai Sumber Pembaiyaan Pembangunan Daerah
Dalam konteks otonomi daerah, pendapatan asli daerah seharusnya menjadi sumber pendapatan utama daerah (Mardiasmo, 2004; Kuncoro, 2004; Muluk, 2009; dan Yani, 2009) sebagai sebuah ihtiar untuk meminimalisir interfensi pusat terhadap daerah sebagai daerah otonom. Artinya, kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya pendapatan asli daerah yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Pendapatan asli daerah selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah.
Pendapatan asli daerah secara umum terdiri dari pajak daerah, retrebusi daerah, penghasilan perusahan daerah (Mardiasmo, 2004; Kuncoro, 2004; Muluk, 2009; dan Yani, 2009). Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pendapatan asli daerah terdiri dari: “hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”. Sumber-sumber pendapatan asli daerah tersebut, idealnya dikelola secara maksmial oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat dan sektor swasta di daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk mampu menggali sumber-sumber keuangan di daerah, tetapi juga harus mampu mengelola dan menggunakan keuangan daerahnya secara value for money.
Menurut Kuncoro (2004) kemampuan keuangan daerah dapat diukur dengan melihat dua aspek penting yakni; “pertama, ditinjau berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu dengan melihat perbandingan antara besarnya pendapatan asli daerah dengan besarnya penerimaan daerah secara keseluruhan; dan kedua, dilihat berdasarkan Indeks Kemampuan Rutin (IKR), yaitu perbandingan persentase besarnya nilai pendapatan asli daerah dengan pengeluaran rutin daerah yang distandarkan dengan kriteria masing-masing, akan tetapi daerah-daerah masih berada pada kisaran 10 persen sampai 50 persen.”
Dalam praktek desentralisasi fiskal dan kewenangan pengelolaan keuangan daerah terdapat banyak kendala. Mardiasmo (2004) menyebutkan kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah juga mengalami berbagai kendala sebagai berikut:

  1. Dalam undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut daerah sudah ditetapkan secara limitatif, sehingga akan menyulitkan daerah untuk berkreasi dalam menetapkan peluang pajak baru;
  2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi berbagai kendala antara lain keterbatasan modal, campur tangan birokrat yang berlebihan, status badan hukum yang tidak jelas dan minimnya sumberdaya manusia yang berkualitas dan profesional; dan
  3. Khusus untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, kendala yang dihadapi daerah adalah belum adanya mekanisme dan prosedur baku dalam penyaluran dana, sehingga seringkali terjadi keterlambatan.

Fakta tersebut memberikan gambaran bahwa, pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai bentuk nyata dari desentralisasi fiskal tidak lah muda. Untuk itu, dalam kebijakan pengelolaan keungan daerah pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan dari masyarakat (civil society) dan pengusaha (private sector). Kerjasama yang serasi dan berimbangn antara ketiga elemen tersebut sangat penting adanya dalam upaya untuk memperkuat pembangunan daerah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain hal tersebut, dukungan politik dari pemerintah pusat dalam bentuk kebijakan yang tidak mereduksi makna desentralisasi sangat penting diperlukan.
Daerah sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh negara dengan maksud untuk mengimplemntasikan kebijakan negara di tingkat daerah, yaitu pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik. Untuk tujuan tersebut, daerah memerlukan pembiayaan yang memadai. Dalam konteks desentralisasi yang diimplemntasikan dalam bentuk otonomi daerah, maka dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik di daerah, daerah memerlukan sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan daerah yang memadai, sebagai suatu bentuk ihtira untuk menjaga ketergantungan daerah terhadap pusat dalam sisi fiskal. Untuk mewujudkan harapan tersebut, menurut Adisasminta (2011: 148) ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kekuatan sumber-sumber atau potensi penerimaan daerah yang harus diperhatikan oleh daerah, yaitu: “kondisi awal suatu daerah; peningkatan cakupan (coverage ratio) atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan; perkembangan PDRB perkapita riil; pertumbuhan penduduk; tingkat inflasi; pembangunan baru; dan sumber pendapatan baru.
Lebihlanjut Adisasminta (2011: 147) menjelaskan tentang upaya meningkatkan potensi dan relaisasi pendapatan asli daerah yang didesain oleh daerah dalam bentuk kebijakan daerah sebagai upaya untuk keberhasilan dan keberlangsungan daerah dalam memaksimalakan keuangan daerah ditentukan oleh empat faktor penting.

  1. Perangkat lunak. Peraturan, tata cara, dan petunjuk pelaksanaan harus sederhan, mudah dimengerti dan efektif dalam pelaksanaannya, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, tidak memberi dampak ekonomi yang negatif, memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, serta menjaga kelestarian lingkungan;
  2. Perangkat keras. Personil, peralatan, dan saran/prasarana yang diperlukan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas;
  3. Wajib pajak. Diperlukan adanya kesadaran, kepatuhuan, kejujuran dan kedisiplinan pajak; dan
  4. Kondisi masyarakat dibidang sosial, ekonomi, dan politik. Pembangunan harus dapat meningkatkan kualitas kondisi masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik secara berkesenambungan.

Dengan demikian, daerah sebagai daerah otonom dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah, utamnya pendapatanasli daerah harus mampu dan dapat mengidentifikasi potensi dan sumber pendapatan daerah secara jelas, baik varian maupun volume. Selain itu, daerah sebagai secara organisatoris harus mampu memenej potensi-potensi daerah tersebut dengan menggunkan desain dan model manajemen dan kepemimpian organisasi yang dapat menjaga irama keberlangsungan eksistensi organisasi kedepan. Hal ini penting dilakukan dikarenakan lingkungan (sosial, ekonomi, dan politik) selalu mengalami perbihan setiap saat. Organisasi yang dapat menjaga eksistensi dan keberlansunghan hidupnya adalah organisasi yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut.

Minggu, 12 April 2015

Kebijakan Mobil Murah dan Problematikanya

KEBIJAKAN MOBIL MURAH DAN PROBELATIKANYA

 
Secara normatif, Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan Cetak Biru Transportasi Antarmoda/Multimoda Tahun 2010-2030, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 15 Tahun 2010 tentang Cetak Biru Transportasi Antar Moda/Multimoda Tahun 2010-2030. Visi transportasi Antarmoda/Multimoda Tahun 2010-2030 adalah memudahkan arus barang dan mobilitas orang secara efektif dan efisien, dengan misi mewujudkan kelancaran arus barang dan meujudkan kelancaran mobilitas orang. Tujuan yang hendak dicapai di antaranya adalah meningkatkan kelancaran arus barang dan mobilitas orang pada kota metropolitan, dan meningkatkan aksesebilitas masyarakat dari dan ke daerah tertinggal.
Peningkatan kelancaran mobilitas orang pada kota metropolitan, dicapai melalui strategi meningkatkan keterpaduan jaringan pelayanan pada 9 kota metropolitan (Mebidangro [Medan, Binjai, Deli, Serdang, Karo], Palembang, Jabodetabek [Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi], Bandung Raya, Kedungsepur [Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi], Yogyakarta, Gerbangkertosusilo [Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan], Sarbagita [Denpasar, Bangli, Gianyar, Tabanan], dan Marminasata [Makasar, Sungguminasa, Takalar, Maros]).
Kebijakan pemerintah tentang transportasi nasioanl tersebut dalam upaya untuk mencapi tujuan program keterpaduan pelayanan yang diwujudkan melalui program Transport Demand Management (TDM) dan Transport Supply Management (TSM) yang masing-masing disusun melalui pendekatan optimasi dan pengembangan serta pembangunan jaringan prasarana dan sarana. Pendekatan optimasi dilakukan antara lain dengan peningkatan pajak dan parkir kendaraan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan penyusunan dan penetapan standar pelayanan dan tata cara operasi angkutan umum untuk meningkatkan kualitas layanan. Sementara pendekatan pengembangan dan pembangunan jaringan prasarana dan sarana dilakukan antara lain melalui pengadaan sarana, prasarana dan fasilitas pendukung serta pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT).
Namun pada sisi yang lain masyarakat dunia diperhadapkan pada permasalahan kelangkaan dan akan habis bahan bakar yang bersumber dari fosil. Dengan adanya permasalahan tersebut saat ini masyarakat dunia mulai menyadari bahwa Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sumber energi semakin langka, dan harganya pun semakin meningkat. Penggunaan energi BBM yang berlebihan di masa lalu menyebabkan cadangan minyak dunia semakin menipis. Banyak negara mulai mengatur strategi agar cadangan minyak dinegaranya dapat dihemat untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Banyak negara kaya yang memilih mengimpor minyak ketimbang memproduksi dari sumurnya sendiri. Banyak negara mulai memikirkan efisiensi energi, dan mencari energi alternatif sebagai pengganti BBM.
Sektor transportasi darat merupakan salah satu sektor yang banyak mengkonsumsi BBM dan menghasilkan CO2 dengan kontribusi cukup signifikan terhadap pemanasan global. Untuk mengatasi masalah ini muncullah kebutuhan untuk menggunakan mobil yang hemat energi dan ramah lingkungan. Pada tahun 2010, Jack R. Nerad, analis pasar Kelley Blue Book, melakukan penilaian terhadap mobil-mobil bertemakan ramah lingkungan. Kajian ini menghasilkan sepuluh mobil paling hemat energi dari berbagai merek dan type dengan konsumsi bahan bakar dari 20,36 km per liter hingga 30,78 km per liter. Beberapa negara yang menyatakan siap memproduksi mobil hemat energi dan ramah lingkungan tersebut antara lain Jepang, India dan Cina (KPKPN, 2013).
Menurut Kementerian Perindustrian, sebagaimana yang dipresentasikan pada acara Focused Group Discussion di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (KPKPN, 2013), menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjual mobil hemat energi antara 300.000 hingga 600.000 unit per tahun. Apabila industri mobil nasional tidak memanfaatkan potensi ini, diyakini bahwa peluang tersebut diisi oleh produk sejenis dari luar negeri, terutama negara ASEAN. Bila hal ini terjadi, maka industri otomotif Indonesia sulit berkembang dan tidak bisa memberikan nilai tambah yang optimal bagi perekonomian.
Lebih lanjut, Kementerian Perindustrian menjelaskan Industri Otomotif Indonesia hingga saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Data enam tahun terakhir menunjukkan bahwa impor mobil Indonesia berkembang jauh lebih pesat dibandingkan dengan ekspornya. Apabila di tahun 2005-2006 Indonesia masih surplus, dalam arti ekspor mobil lebih besar dibandingkan impornya, mulai tahun 2007 Indonesia sudah mulai defisit, dalam arti impor lebih besar dari ekspor. Defisit ini semakin lama semakin besar. Bila pada tahun 2007 defisit hanya sebesar 533.524 ribu USD, pada tahun 2011 defisit telah meningkat menjadi 4.291.364 ribu USD.
KPKPN (2013) dalam kesimpulan hasil kajiannya tentang Low Cost Green Car (LCGC) menyebutkan sebagai berikut: pertama, dengan pengorbanan sebesar Rp.588 milyar berupa insentif PPnBM untuk mobil jenis LCGC, investasi di sektor otomotif akan meningkat sebesar Rp. 14.720 miliar, yang berdampak pada tambahan penyerapan tenaga kerja sekitar 315.830 orang, dan menambah penghasilan masyarakat hingga mencapai Rp.2.518 miliar. Output perekonomian akan bertambah sebesar Rp. 20.560 miliar, keuntungan perusahaan pada berbagai sektor meningkat hingga mencapai Rp.4.330 miliar, dan penerimaan pajak tidak langsung akan bertambah sebesar Rp.261 miliar. Kedua, dibandingkan dengan cost yang harus ditanggung, alternatif kebijakan pemberian insentif PPnBM untuk mobil jenis LCGC memberikan manfaat yang lebih banyak bagi masyarakat, industri otomotif, serta pemerintah. Ketiga, alternatif kebijakan pemberian untuk menolak pemberian insentif PPnBM untuk mobil jenis LCGC menyebabkan masyarakat, industri otomotif, dan pemerintah menderita kerugian lebih banyak dibandingkan dengan benefit yang diperoleh.
Tumbuhnya industry otomotif di beberapa negara Asia tentunya tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah masing-masing negara. Sementara itu, kebijakan industri di Indonesia belum menunjukkan arah yang jelas dalam kebijakan pengembangan industri otompotif. Kebijakan yang diambil lebih terlihat sporadis dan reaktif, bukan melewati pemikiran dan perencanaan yang matang. Bahkan langkah langkah pemerintah menimbulkan kecurigaan bahwa kebijakan yang akan diambil merupakan pesanan dari produsen produsen otomotif yang telah mapan saat ini. Produsen tersebut terus mengharapkan kebijakan kebijakan industry otomotif tetap memberikan ruang seluas luasnya kepada mereka termasuk dalam memasarkan produk baru seperti mobil hybrid.
Dalam upaya untuk meningkatkan industri otomotif di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan aturan mengenai mobil murah dan ramah lingkungan (Low Cost Green Car/LCGC) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Permenkeu No 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan Untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal. Dalam peraturan itu, industri otomotif yang mengedepankan sisi ramah lingkungan mendapat insentif dari pemerintah.
PMK tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Aturan tersebut direncanakan sebagai payung hukum program pemerintah untuk mendorong produksi dan penggunaan mobil emisi karbon rendah di Indonesia.
Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 33/MIND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Pemerintah dengan berbagai argumentasinya menjelaskan tentang pentingnya kebijakan tentang mobil murah dan hemat energi. Namun menurut Lin Che Wei (2013) membantah argumentasi pemerintah tersebut dengan beberapa alasannya. Pertama, menurut pemerintah nilai tambah mobil murah sangat tinggi. Namun faktanya 40 persen dari komponen produk otomotif dibuat secara lokal, sedangkan 60 persen komponen masih diimpor. Artinya, nilai tambah mobil murah lebih tinggi hanya untuk perusahaan asing atau produsen bukan untuk konsumen atau masyarakat.
Kedua, mobil murah akan meningkatkan ekspor karena produksi mobil murah 15-20 persen dengan tujuan untuk ekspor. Jika sekitar 15-20 persen dari mobil murah yang diproduksi akan diekspor dengan jumlah hanya diperkirakan per tahun adalah 19.500-35.000 unit. Sebagaimnan yang disebutkan di atas, jika 60 persen dari komponen otomotif berasal dari Impor, dengan demikian maka mobil murah akan menyebabkan kita mengimpor lebih banyak daripada mengekspor.
Ketiga, pemerintah berargumentasi bahwa rakyat kecil yang diuntungkan adanya mobil murah. Namun, mobil murah akan meningkatkan konsumsi yang tidak perlu dari rakyat kecil. Mereka seharusnya memperoleh transportasi umum yang murah. Mobil murah justru akan menguntungkan pengusaha otomotif dan perusahaan pembiayaan dengan mendorong rakyat kecil menjadi lebih konsumtif.
Keempat, menurut pemerintah program mobil hemat menguntungkan karena mendatangkan komitmen investasi US$ 3 miliar. Namun pembebasan pajak yang diberikan pemerintah sangat besar. Hitunglah pajak yang hilang dalam lima tahun. Dengan asumsi penjualan sebesar 700.000 sampai 1.000.000 mobil dalam lima tahun, dan PPnBM 10 persen, katakan nilainya Rp 10 juta per mobil, maka pajak yang hilang adalah Rp 10 Triliun.
Kelima, pemerintah menjelaskan bahwa mobil murah akan dijual ke daerah dan tidak di kota besar. Sebagian besar target pasar dari mobil murah adalah rakyat menengah ke bawah. Data penjualan mobil cc kecil juga menunjukan bahwa penjualan justru sangat kuat di perkotaan dan bukan pedesaan atau daerah.
Keenam, pemerintah berargumentasi bahwa mobil murah akan menjadi sarana transfer teknologi ke mobil-mobil nasional. Industri otomotif Indonesia sudah berdiri sejak 1970-an atau lebih dari 40 tahun. Transfer teknologi berjalan sangat lambat dan tidak mungkin hal tersebut dapat terjadi dalam 3-4 tahun ke depan.
Ketujuh, pemerintah berpendapat bahwa mobil murah akan membawa Indonesia menjadi negara maju (developed country). Menurut walikota Bogota, negara maju bukanlah negara yang golongan menengah ke bawah memiliki mobil, tetapi ketika golongan menengah ke atas memakai transportasi publik. Dalam kebijakan ini Indonesia bukanlah developed country atau developing country (negara sedang membangun). Indonesia adalah decaying country (negara yang membusuk) dalam kebijakan otomotif dan transportasi publik.
Dengan melihat fakta tersebut maka ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyususn kebijakan otomotif dan transportasi di negera ini. Pertama, kebijakan harus mendorong proses pembelajaran bagi industri. Industri otomotif yang telah ada saat ini terus didorong agar “naik kelas” melalu proses pembelajaran. Untuk itu perlu terus dilakukan evaluasi terhadap industri otomotif yang ada, saat ini mereka  berada di kelas berapa. Pembagian kelas tersebut misalnya kelas pertama adalah sekedar menggunakan lisensi dalam memproduksi. Kelas kedua adalah memiliki kemampuan melakukan modifikasi produk. Kelas ketiga adalah memiliki kemampuan membuat disain secara mandiri. Dan kelas keempat adalah mampu melakukan riset dan pengembangan sebagai landasan dalam pengembangan produk produk baru.
Kedua, kebijakan harus dapat memanfaatkan hasil pengembangan dan pengalaman di bidang otomotif yang telah dicapai saat ini. Beberapa prototype mobil telah berhasil dibuat di tanah air, namun belum berhasil ditindaklanjut dalam produksi skala masal. Akhir akhir ini pemerintah sangat gencar dalam mendorong pengembangan mobil listrik. Hasil litbang inih harus dapat dimanfaatkan secara nyata. Dari sisi penyimpanan energi, mobil listrik masih memiliki beberapa kendala untuk bersaing dengan mobil bahan bakar minyak. Namun mobil listrik memiliki kelebihan untuk beberapa bentuk penggunaan, misalnya untuk mobil dalam gedung atau mobil dalam kawasan. Sebagai contoh penggunaan, mobil listrik sangat cocok digunakan di dalam bandar udara.  Mobil listrik yang tidak mengeluarkan gas buang tentunya sangat cocok untuk tempat tempat tertutup seperti ini. Mobil listrik dapat pula diarahkan untuk mejadi mobil khusus dalam kawasan, seperti kawasan wisata, kawasan olah raga dan sebagainya. Mobil listrik yang tidak mengeluarkan gas buang tidak akan mengotori udara dalam kawasan tempat dioperasikan. Selain itu, di masa lalu pernah digulirkan proyek mobil nasional. Kegagalan dan pengalaman pengembangan industri otomotif di masa lalu harus dikaji dengan baik dan dijadikan pertimbangan dalam menyusun kebijakan di masa yang akan datang.
Ketiga, penataan pasar dan perdagangan. Di tengah kecenderungan semakin tipisnya sekat sekat antar negara, pemerintah perlu jeli dalam menata pasar otomotif dalam negeri dan kebijakan perdagangan internasionalnya. Di jerman, mobil mobil produsen jerman seperti VW sangat mendominasi jalanan jerman dibandingkan dengan mobil jepang yang sebenarnya lebih murah. Salah satu alasannya adalah jaringan purna jual mobil jerman yang jauh lebih luas dibandingkan dengan mobil jepang. Mobil jepang memang murah pada saat awal pembelian namun biaya perawatan akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan mobil jerman. Keluasan jaringan purna jual dan tataniaga suku cadang memberikan kemudahan bagi pengguna mobil jerman daripada mobil jepang.
Keempat, mendorong tumbuhnya industri komponen dan industri pendukung,  Mobil tersusun oleh ribuan  komponen. Sebuah produsen mobil biasanya akan membeli komponen komponen dari industry di sekitarnya. Industri industri komponen ini pun perlu diperkuat sehingga dapat menjadi penopang kokohnya industry otomotif nasional. Bahkan sebaiknya perlu diperkuat sampai dengan industry industry dasar pendukungnya seperti industry logam dasar dan pengolahan logam.

Jumat, 10 April 2015

Pemberdayaan Masyarakat Menuju Good and Clean Governance

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MENUJU Good and Clean Governance


Pendahuluan
Paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang sering disebut dengan “good governance” menuntut setiap pejabat publik harus dapat bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, prilaku, dan kebijakannya kepada publik dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Seagala sikap, tindakan, dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena rakyat disamping pemegang kedaulatan tertinggi negara, juga karena rakyat yang memiliki segala sumber daya pembangunan termasuk kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
Pertanggungjawaban para pemegang kekuasaan kepada yang memberi kekuasaan disamping agar rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka, juga sekaligus rakyat dapat melakukan kontrol atas apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan tersebut. Mekanisme pertanggungjawaban pada hakekatnya sebagai “media kontrol” rakayt terhadap para pejabat publik. Disamping itu, pertanggungjawaban juga merupakan pencerminan apakah para pejabat dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku serta secara demokratis.
Goog governance adalah sebuah harapan dari setiap pemerintahan di setiap negara di permukaan planet bumi ini. Paradikma pemerintahan yang good governance semakin kuat diperjungkan setalah (terutama di Indonesia), pasca terjadinya krisis moneter yang berimbas pada krisis ekonomi. Bermula dari kedua krisis ini yang kemidian melahirkan issu baru yaitu “krisis moral dan nurani”. Dari krisis-krisis ini lah yang kemudian bangsa ini dikerahkan untuk berusaha menerapkan konsep good governance.
Pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu ihtiar untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawah. Hal ini menjadi penting dalam sebuah konsep tentang good governance karena, good governance memeliki tiga pilar utama dan salah satunya adalah civil society, disamping state dan private sector. Artinya bahwa tanpa masyarakat di berdayakan untuk berperan aktif dalam pembangunan dan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka good governance hanya sebagai sologan dan jargon politik bagai pengusa, dan hanya menjadi bahan diskusi di ruang-ruang seminar dan kuliah tanpa ada implementasinya.

Pembangunan Sumberdaya Manusia
Pembangunan kualitas manusia tidak identik dengan pembangunan ekonomi plus moderenitas. Lebih dari keduanya, pembnguna kualitas manusia merupakan upaya yang terencana untuk meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Kapasitas sumberdaya manusia mencakup lima aspek yaitu: kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian keleluasaan dan wewenang, keberlangsungan untuk berkembang (sustainable), dan kesadaran akan interdepedensi (Effendi, 1986). Karenanya pembangunan kualitas manusia pada dasarnya merupakan upaya mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dalam kerangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
Bryant dan White (Effendi, 1986) menyatakan aspek yang terkandung dalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, Pembangunan harus menekankan pemerataan (equlity). Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecahkan masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka, yang kemudian berdampak kepada proses pembangunan.
Pembangunan kulitas manusia diperlukan suatu persyaratan mutlak untuk masyarakat berpatisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya. Partisipasi masyarakat akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan. Partisipasi juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembanguna yang lebih tepat kedepa.
Berpijak pada konsep pembangunan kualitas manusia diatas maka dapat dimaknai bahwa pembangunan sumberdaya manusia arahnya adalah pemberdayaan (empowerment) pada diri manusia tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi ketidak berdayaan (powerlessness) individu dan masyarakat, mengatasi adanya perasaan impotensional, emosional dan sosial dalam menghadapi masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri. Pemberdayaan adalah peningkatan atau pembengan potensi atau daya individu dan masyarakat atas aspirasi dan kebutuhannya dan bertumpu pada kempauan dan perkembangan individu dan masyarakat yang bersangkutan.
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia ini, memberikan peranan individu, bukan sebagai objek pembangunan, tapi sebagai subjek (pelaku) yang menentukan tujuan, menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses menentukan hidup mereka. Karenanya paradigma pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan rakyat oleh Korten dan Carner, sebagai lawan dari pembangunan yang berpihak pada produksi dan akumulasi (production centered development).
Pokok pikiran dari paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia, dijadikan tumpuan dari pengelolaan sumber daya lokal, yang disebut dengan CBRM (Community Based Resources Management). CBRM merupakan model manajemen pembangunan yang mencoba menjawab tantangan pembangunan yaitu kemiskinan, memburuknya lingkungan hidup, dan kurangnya partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan yang menyangkut dirinya. Pokok pikiran dalam CBRM adalah mencakup; Pertama, keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal oleh warga masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya (role to play) sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Kedua, memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada pada masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga, toleransi yang besar terhadap adanya variasi dan karenanya mengakui makna pilihan nilai individual dan mengakui pengambilan keputusan yang desentralis. Keempat, di dalam mencapai tujuan yang mereka tentukan, CBRM menggunakan taknik “social learning process” di mana individu-individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatori dengan mengacu pada kesadaran kritis. Kelima, budaya kelembagaan ditandai oleh adanya organosasi-organisasi otonom mandiri yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengkoreksi diri. Keenam, adanya jaringan koalisi dan komonikasi antara pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat, pemerintah daerah, bank desa, dan sebagainya yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan mereka atas berbagai sumber yang ada serta kemampuan mereka untuk mengelola sumber-sumber setempat.

Good Governance
Konsep “Governance” tidak hanya melibatkan pemerintah dan negara dalam proses pembanguan, pemerintahan, dan pelayanan publik, tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Sedangkan Good dalam Good Governance menurut Lembaga Administrasi Negara (2000) mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, bangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdesarkan pengertian ini, LAN (2000) kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada, pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuannasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat), accountability (akuntabilitas), scuring of human right, autonomy and devolution of powe, dan assurance of civilian control. Sedangkan orientasi yang kedua, tergantung kepada sejauhmana pemerintahan mempunyai kompentensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa wujud good governance menurut adalah penyelenggaraan pemerintaha yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain negara (state), sektor suasta (private sector) dan masyarakat (civil society).
Pemerintahan yang berwibawah berkaitan dengan ketaatan, kepatuhan, ketundukan (compliance) masyarakat kepada pemerintah, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan publik, sering muncul atau ditemukan karena pemerintah menggunankan “otoritas kekuasaan” yang mereka miliki. Compliance masyarakat sering pula terjadi disertai dengan rasa takut. Mereka taat, patuh, dan tunduk pada suatu peraturan perundangan, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah, bukan dari kesadaran sendiri, bahwa suatu peraturan perundangan dan kebijakan publik tadi memang harus ditaati, melainkan karena takut karena ancaman yang mungkin timbul dari tidak ditaatinya peraturan perundangan atau kebijakan publik tadi.
Pemerintah yang bijaksana yakni tidak mengandalkan legitimasi hukum (otoritas) yang dimiliki untuk menjalankan administrasi publik, akan tetapi juga berusaha untuk menumbuh rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa bertanggung jawab (sense of responsible) masyarakat terhadap proses administrasi publik dan hasil-hasil pembangunan yang dicapai.

Menuju  Good and Clean Governance
Karakteristik clean and good governance, dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu pelaku governance. Untuk melaksanakan pembangunan kualitas manusia dapat menggunakan “poeple centered development paradigm” dengan kata lain, poeple centered development paradigm dapat meningkatkan kualitas manusia, dan manusia yang berkualitas akan mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan menggunakan konsep poeple centered devolement paradigim terutama “community based resources management” dan “comunity information planning system” akan dapat mewarnai proses desentralisasi dan demokrasi, dan “clean and good governance” akan dapat mewarnai pembangunan kualitas manusia untuk mewujudkan “empowerment” kapasitas masyarakat lokal (Widodo, 2001).
Artinya, bahwa ketika proses pembangunan dijalankan dengan pendekatan manajemen seperti di atas, diharapkan akan mewujudkan hal-hal sebagai berikut; Pertama, pembangunan dan oleh untuk masyarakat. Manajemen pembangunan ini memandang pembangunan sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat. Peranan pemerintah adalah menciptakan kondisi atau lingkungan (settings) yang memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi sesuai dengan prioritas yang mereka inginkan. Pokok pemikiran ini sama dengan hakekat demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Kedua, pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan sharing sumberdaya, terutama informasi dengan masyarakat, merupakan pengejawantahan dalam prinsip pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (tranperency), dan keterbukaan (oppeness). Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara mempersempit gap sumberdaya birokrasi dengan masyarakat, yaitu dengan cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (public examination) terhadap lembaganya.
Ketiga, lembaga legislatif perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumberdaya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pimpinan politik, informasi, dan kerjasama adalah sesuatu yang bernilai bagi birokrat. Semua sumberdaya tersebut dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap birokrasi. Hubungan dekat dengan elit politik dapat mempengaruhi lembaganya dengan menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yuridiksi, atau barang yang diinginkan birokrat. Karenanya, masyarakat bisa lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan pemerintahannya sendiri.
Keempat, birokrat harus menjalin kerjasama dengan rakyat, yaitu dengan membuat program-programnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka agar mereka tidak diharapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi birokrat, dan informasi ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun juga, strategi dengan memecah monopoli birokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektifitas sumberdaya. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan menginformasikanya akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan birokrasi, dan karenya dapat digunakan pula sebagai sumberdaya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Kelima, birokrasi membuka dialok dengan masyarakat. Dengan dilakukan dialok ini, memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau pejabat yang dipilih (elected offecial) dan dengan cara ini mempermudah melakukan konfersi sumber daya yang diperlukan dalam melakukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi dua macam cara. Pertama, kontrol berasal dari pekerjaan dari lembaga kontrol sendiri, dan kedua, dengan membuat arena untuk beriteraksi, sehingga mekanisme kontrol memberikan kesempatan untuk mempengaruhi secara informal (informal influence) yang bisa mengarah kerencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai pengejawantahan dari nilai people centered development paradegim yakni proses belajar sosial (social learning process). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang sering kali dilakukan melalui “trial and error”.
Keenam, nilai manageman strategis (strategic managemant) berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, menanggapi tuntunan menguasai dan memprogram perilaku manusia, akan tetapi berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, sebagai aplikasi dari acuntability teutama responsiness. Nilai managemant strategis ini dapat memberikan “empowering” anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu mengaktualisasikan potensinya.

Penutup
Dalam era otonomi sekarang, pemberdayaan sumberdaya manusia sangat penting dan dianggap sebagai sebuah kebutuhan dalam poses pembangunan. Dengan momen otonomi daerah yang memberikan ruang yang sangat cukup kepada masyarakat daerah untuk berekpresia dan berkreatif dalam membangun daerahnya, maka sangat diperlukan kemapanan sumber daya manusia mapan pada tingkat local. Apabila kemampuan masyarakat daerah yang sangat terbatas sumber daya manusianya, maka kemampuan daerah untuk membangun puan akan terbatas. Dan hal dibiarkan, akan menjadi bumerang bagi daerah dan masyarakat sendiri, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang dialami oleh masyarakat tidak akan terwujud.
Kepemerintahan yang baik “good governance” merupakan impian seluruk komponen masyarakat dalam bernegara. Dalam upaya untuk mewujudkan impian tersebut, tanpa ada peran dan partisipasi aktif dari masyarakat, merupakan sebuah hal yang sangat mustahil akan terwuju. Artinya, dalam usaha untuk menjapai kepemerintahan yang baik --baik dalam memberikan pelayanan public sebagai aparatur pemerintah dan baik dalam melakukan pembangunan-- tidak akan bias berjalan secar maksimal dan efektif tanda ada dukungan dari masyarakat sebagai salahsatu pilar pembangunan.
Clean governance bukan merupakan sebuah hal yang sangat sulit untuk mencapainya. Rangsangan dan dorongan masyarakat yang mapan sumber daya merupakan suatu instrument yang sangat penting dan perlu dalam upaya untuk mencapai pemerintah yang bersih. Tanpa ada kekwatan dari luar pemerintah, seperti masyarakat dan sector suasta “privat sector”, maka usaha untuk mencapai pemerintahan yang bersih hanya menjadi sebuah cita-cita yang tidak terwujud, dan menjadi slogan-slogan kosong yang tanpa makna.
Dengan tersedianya sumber daya manusia yang mapan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ruang untuk meujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawah dalam setip proses kepemerintahan dan pembangunan akan tersedia dan dapat terlaksana dan bisa terwujud. Masyarakat yang mapan sumber daya manusia adalah masyarakat yang memahami akan hak-hak dan kewajibannya sebagai manusia secara individual dan memahami akan ha-hak dan kewacibannya sebagai kelompok masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara. Berhulu dari sini, maka kita semua yankin bahwa demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari segala sector dan aspek bukan merupakan seswatu hal yang otopia.