Publikasi

Jumat, 10 April 2015

Pemberdayaan Masyarakat Menuju Good and Clean Governance

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MENUJU Good and Clean Governance


Pendahuluan
Paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang sering disebut dengan “good governance” menuntut setiap pejabat publik harus dapat bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan segala sikap, prilaku, dan kebijakannya kepada publik dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Seagala sikap, tindakan, dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena rakyat disamping pemegang kedaulatan tertinggi negara, juga karena rakyat yang memiliki segala sumber daya pembangunan termasuk kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
Pertanggungjawaban para pemegang kekuasaan kepada yang memberi kekuasaan disamping agar rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka, juga sekaligus rakyat dapat melakukan kontrol atas apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan tersebut. Mekanisme pertanggungjawaban pada hakekatnya sebagai “media kontrol” rakayt terhadap para pejabat publik. Disamping itu, pertanggungjawaban juga merupakan pencerminan apakah para pejabat dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku serta secara demokratis.
Goog governance adalah sebuah harapan dari setiap pemerintahan di setiap negara di permukaan planet bumi ini. Paradikma pemerintahan yang good governance semakin kuat diperjungkan setalah (terutama di Indonesia), pasca terjadinya krisis moneter yang berimbas pada krisis ekonomi. Bermula dari kedua krisis ini yang kemidian melahirkan issu baru yaitu “krisis moral dan nurani”. Dari krisis-krisis ini lah yang kemudian bangsa ini dikerahkan untuk berusaha menerapkan konsep good governance.
Pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu ihtiar untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawah. Hal ini menjadi penting dalam sebuah konsep tentang good governance karena, good governance memeliki tiga pilar utama dan salah satunya adalah civil society, disamping state dan private sector. Artinya bahwa tanpa masyarakat di berdayakan untuk berperan aktif dalam pembangunan dan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka good governance hanya sebagai sologan dan jargon politik bagai pengusa, dan hanya menjadi bahan diskusi di ruang-ruang seminar dan kuliah tanpa ada implementasinya.

Pembangunan Sumberdaya Manusia
Pembangunan kualitas manusia tidak identik dengan pembangunan ekonomi plus moderenitas. Lebih dari keduanya, pembnguna kualitas manusia merupakan upaya yang terencana untuk meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Kapasitas sumberdaya manusia mencakup lima aspek yaitu: kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian keleluasaan dan wewenang, keberlangsungan untuk berkembang (sustainable), dan kesadaran akan interdepedensi (Effendi, 1986). Karenanya pembangunan kualitas manusia pada dasarnya merupakan upaya mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dalam kerangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
Bryant dan White (Effendi, 1986) menyatakan aspek yang terkandung dalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, Pembangunan harus menekankan pemerataan (equlity). Perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecahkan masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka, yang kemudian berdampak kepada proses pembangunan.
Pembangunan kulitas manusia diperlukan suatu persyaratan mutlak untuk masyarakat berpatisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya. Partisipasi masyarakat akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan. Partisipasi juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembanguna yang lebih tepat kedepa.
Berpijak pada konsep pembangunan kualitas manusia diatas maka dapat dimaknai bahwa pembangunan sumberdaya manusia arahnya adalah pemberdayaan (empowerment) pada diri manusia tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi ketidak berdayaan (powerlessness) individu dan masyarakat, mengatasi adanya perasaan impotensional, emosional dan sosial dalam menghadapi masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri. Pemberdayaan adalah peningkatan atau pembengan potensi atau daya individu dan masyarakat atas aspirasi dan kebutuhannya dan bertumpu pada kempauan dan perkembangan individu dan masyarakat yang bersangkutan.
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia ini, memberikan peranan individu, bukan sebagai objek pembangunan, tapi sebagai subjek (pelaku) yang menentukan tujuan, menguasai sumber-sumber, mengarahkan proses menentukan hidup mereka. Karenanya paradigma pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan rakyat oleh Korten dan Carner, sebagai lawan dari pembangunan yang berpihak pada produksi dan akumulasi (production centered development).
Pokok pikiran dari paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia, dijadikan tumpuan dari pengelolaan sumber daya lokal, yang disebut dengan CBRM (Community Based Resources Management). CBRM merupakan model manajemen pembangunan yang mencoba menjawab tantangan pembangunan yaitu kemiskinan, memburuknya lingkungan hidup, dan kurangnya partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan yang menyangkut dirinya. Pokok pikiran dalam CBRM adalah mencakup; Pertama, keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal oleh warga masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya (role to play) sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Kedua, memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada pada masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga, toleransi yang besar terhadap adanya variasi dan karenanya mengakui makna pilihan nilai individual dan mengakui pengambilan keputusan yang desentralis. Keempat, di dalam mencapai tujuan yang mereka tentukan, CBRM menggunakan taknik “social learning process” di mana individu-individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatori dengan mengacu pada kesadaran kritis. Kelima, budaya kelembagaan ditandai oleh adanya organosasi-organisasi otonom mandiri yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengkoreksi diri. Keenam, adanya jaringan koalisi dan komonikasi antara pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat, pemerintah daerah, bank desa, dan sebagainya yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan mereka atas berbagai sumber yang ada serta kemampuan mereka untuk mengelola sumber-sumber setempat.

Good Governance
Konsep “Governance” tidak hanya melibatkan pemerintah dan negara dalam proses pembanguan, pemerintahan, dan pelayanan publik, tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Sedangkan Good dalam Good Governance menurut Lembaga Administrasi Negara (2000) mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, bangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdesarkan pengertian ini, LAN (2000) kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada, pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuannasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat), accountability (akuntabilitas), scuring of human right, autonomy and devolution of powe, dan assurance of civilian control. Sedangkan orientasi yang kedua, tergantung kepada sejauhmana pemerintahan mempunyai kompentensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa wujud good governance menurut adalah penyelenggaraan pemerintaha yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain negara (state), sektor suasta (private sector) dan masyarakat (civil society).
Pemerintahan yang berwibawah berkaitan dengan ketaatan, kepatuhan, ketundukan (compliance) masyarakat kepada pemerintah, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan publik, sering muncul atau ditemukan karena pemerintah menggunankan “otoritas kekuasaan” yang mereka miliki. Compliance masyarakat sering pula terjadi disertai dengan rasa takut. Mereka taat, patuh, dan tunduk pada suatu peraturan perundangan, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah, bukan dari kesadaran sendiri, bahwa suatu peraturan perundangan dan kebijakan publik tadi memang harus ditaati, melainkan karena takut karena ancaman yang mungkin timbul dari tidak ditaatinya peraturan perundangan atau kebijakan publik tadi.
Pemerintah yang bijaksana yakni tidak mengandalkan legitimasi hukum (otoritas) yang dimiliki untuk menjalankan administrasi publik, akan tetapi juga berusaha untuk menumbuh rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa bertanggung jawab (sense of responsible) masyarakat terhadap proses administrasi publik dan hasil-hasil pembangunan yang dicapai.

Menuju  Good and Clean Governance
Karakteristik clean and good governance, dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu pelaku governance. Untuk melaksanakan pembangunan kualitas manusia dapat menggunakan “poeple centered development paradigm” dengan kata lain, poeple centered development paradigm dapat meningkatkan kualitas manusia, dan manusia yang berkualitas akan mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan menggunakan konsep poeple centered devolement paradigim terutama “community based resources management” dan “comunity information planning system” akan dapat mewarnai proses desentralisasi dan demokrasi, dan “clean and good governance” akan dapat mewarnai pembangunan kualitas manusia untuk mewujudkan “empowerment” kapasitas masyarakat lokal (Widodo, 2001).
Artinya, bahwa ketika proses pembangunan dijalankan dengan pendekatan manajemen seperti di atas, diharapkan akan mewujudkan hal-hal sebagai berikut; Pertama, pembangunan dan oleh untuk masyarakat. Manajemen pembangunan ini memandang pembangunan sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat. Peranan pemerintah adalah menciptakan kondisi atau lingkungan (settings) yang memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi sesuai dengan prioritas yang mereka inginkan. Pokok pemikiran ini sama dengan hakekat demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Kedua, pokok pikiran community information planning system, dapat diwujudkan dengan sharing sumberdaya, terutama informasi dengan masyarakat, merupakan pengejawantahan dalam prinsip pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (tranperency), dan keterbukaan (oppeness). Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara mempersempit gap sumberdaya birokrasi dengan masyarakat, yaitu dengan cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (public examination) terhadap lembaganya.
Ketiga, lembaga legislatif perlu berbagi informasi dengan masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumberdaya potensial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pimpinan politik, informasi, dan kerjasama adalah sesuatu yang bernilai bagi birokrat. Semua sumberdaya tersebut dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap birokrasi. Hubungan dekat dengan elit politik dapat mempengaruhi lembaganya dengan menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yuridiksi, atau barang yang diinginkan birokrat. Karenanya, masyarakat bisa lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan pemerintahannya sendiri.
Keempat, birokrat harus menjalin kerjasama dengan rakyat, yaitu dengan membuat program-programnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka agar mereka tidak diharapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi birokrat, dan informasi ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun juga, strategi dengan memecah monopoli birokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektifitas sumberdaya. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan menginformasikanya akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan birokrasi, dan karenya dapat digunakan pula sebagai sumberdaya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Kelima, birokrasi membuka dialok dengan masyarakat. Dengan dilakukan dialok ini, memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau pejabat yang dipilih (elected offecial) dan dengan cara ini mempermudah melakukan konfersi sumber daya yang diperlukan dalam melakukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi dua macam cara. Pertama, kontrol berasal dari pekerjaan dari lembaga kontrol sendiri, dan kedua, dengan membuat arena untuk beriteraksi, sehingga mekanisme kontrol memberikan kesempatan untuk mempengaruhi secara informal (informal influence) yang bisa mengarah kerencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai pengejawantahan dari nilai people centered development paradegim yakni proses belajar sosial (social learning process). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang sering kali dilakukan melalui “trial and error”.
Keenam, nilai manageman strategis (strategic managemant) berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, menanggapi tuntunan menguasai dan memprogram perilaku manusia, akan tetapi berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, sebagai aplikasi dari acuntability teutama responsiness. Nilai managemant strategis ini dapat memberikan “empowering” anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu mengaktualisasikan potensinya.

Penutup
Dalam era otonomi sekarang, pemberdayaan sumberdaya manusia sangat penting dan dianggap sebagai sebuah kebutuhan dalam poses pembangunan. Dengan momen otonomi daerah yang memberikan ruang yang sangat cukup kepada masyarakat daerah untuk berekpresia dan berkreatif dalam membangun daerahnya, maka sangat diperlukan kemapanan sumber daya manusia mapan pada tingkat local. Apabila kemampuan masyarakat daerah yang sangat terbatas sumber daya manusianya, maka kemampuan daerah untuk membangun puan akan terbatas. Dan hal dibiarkan, akan menjadi bumerang bagi daerah dan masyarakat sendiri, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang dialami oleh masyarakat tidak akan terwujud.
Kepemerintahan yang baik “good governance” merupakan impian seluruk komponen masyarakat dalam bernegara. Dalam upaya untuk mewujudkan impian tersebut, tanpa ada peran dan partisipasi aktif dari masyarakat, merupakan sebuah hal yang sangat mustahil akan terwuju. Artinya, dalam usaha untuk menjapai kepemerintahan yang baik --baik dalam memberikan pelayanan public sebagai aparatur pemerintah dan baik dalam melakukan pembangunan-- tidak akan bias berjalan secar maksimal dan efektif tanda ada dukungan dari masyarakat sebagai salahsatu pilar pembangunan.
Clean governance bukan merupakan sebuah hal yang sangat sulit untuk mencapainya. Rangsangan dan dorongan masyarakat yang mapan sumber daya merupakan suatu instrument yang sangat penting dan perlu dalam upaya untuk mencapai pemerintah yang bersih. Tanpa ada kekwatan dari luar pemerintah, seperti masyarakat dan sector suasta “privat sector”, maka usaha untuk mencapai pemerintahan yang bersih hanya menjadi sebuah cita-cita yang tidak terwujud, dan menjadi slogan-slogan kosong yang tanpa makna.
Dengan tersedianya sumber daya manusia yang mapan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ruang untuk meujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawah dalam setip proses kepemerintahan dan pembangunan akan tersedia dan dapat terlaksana dan bisa terwujud. Masyarakat yang mapan sumber daya manusia adalah masyarakat yang memahami akan hak-hak dan kewajibannya sebagai manusia secara individual dan memahami akan ha-hak dan kewacibannya sebagai kelompok masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara. Berhulu dari sini, maka kita semua yankin bahwa demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari segala sector dan aspek bukan merupakan seswatu hal yang otopia.

Tidak ada komentar: