PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
MENUJU Good and Clean Governance
Pendahuluan
Paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan,
yang sering disebut dengan “good governance” menuntut
setiap pejabat publik harus dapat bertanggung jawab dan
mempertanggungjawabkan segala sikap, prilaku, dan kebijakannya kepada
publik dalam bingkai melaksanakan apa yang menjadi tugas, wewenang
dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Seagala sikap, tindakan,
dan kebijakan pemerintah harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat,
karena rakyat disamping pemegang kedaulatan tertinggi negara, juga
karena rakyat yang memiliki segala sumber daya pembangunan termasuk
kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.
Pertanggungjawaban para pemegang kekuasaan kepada yang memberi
kekuasaan disamping agar rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan
oleh mereka, juga sekaligus rakyat dapat melakukan kontrol atas apa
yang dilakukan para pemegang kekuasaan tersebut. Mekanisme
pertanggungjawaban pada hakekatnya sebagai
“media kontrol” rakayt terhadap para pejabat publik. Disamping
itu, pertanggungjawaban juga merupakan pencerminan apakah para
pejabat dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah berjalan
sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku
serta secara demokratis.
Goog governance adalah sebuah harapan dari setiap pemerintahan
di setiap negara di permukaan planet bumi ini. Paradikma pemerintahan
yang good governance semakin kuat diperjungkan setalah
(terutama di Indonesia), pasca terjadinya krisis moneter yang
berimbas pada krisis ekonomi. Bermula dari kedua krisis ini yang
kemidian melahirkan issu baru yaitu “krisis moral dan nurani”.
Dari krisis-krisis ini lah yang kemudian bangsa ini dikerahkan
untuk berusaha menerapkan konsep good governance.
Pembangunan kualitas manusia sebagai salah satu ihtiar untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawah. Hal ini
menjadi penting dalam sebuah konsep tentang good governance
karena, good governance memeliki tiga pilar utama dan
salah satunya adalah civil society, disamping state dan
private sector. Artinya bahwa tanpa masyarakat di berdayakan
untuk berperan aktif dalam pembangunan dan dalam penyelenggaraan
pemerintahan maka good governance hanya sebagai sologan dan
jargon politik bagai pengusa, dan hanya menjadi bahan diskusi di
ruang-ruang seminar dan kuliah tanpa ada implementasinya.
Pembangunan Sumberdaya Manusia
Pembangunan kualitas manusia tidak identik dengan pembangunan ekonomi
plus moderenitas. Lebih dari keduanya, pembnguna kualitas manusia
merupakan upaya yang terencana untuk meningkatkan kapasitas individu
dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa
depannya sendiri. Kapasitas sumberdaya
manusia mencakup lima aspek yaitu: kapasitas untuk berproduksi,
pemerataan, pemberian keleluasaan dan wewenang, keberlangsungan untuk
berkembang (sustainable), dan kesadaran akan interdepedensi
(Effendi, 1986). Karenanya pembangunan kualitas manusia pada dasarnya
merupakan upaya mengembangkan inisiatif yang kreatif dari penduduk
sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dalam kerangka mencapai
kesejahteraan material dan spiritual.
Bryant dan White (Effendi, 1986) menyatakan aspek yang terkandung
dalam pembangunan kualitas manusia sebagai
upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan
harus memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), kepada
apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta
energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, Pembangunan harus
menekankan pemerataan (equlity). Perhatian yang tidak merata
pada berbagai kelompok masyarakat akan memecahkan masyarakat dan akan
menghancurkan kapasitas mereka, yang kemudian
berdampak kepada proses pembangunan.
Pembangunan kulitas manusia diperlukan suatu persyaratan mutlak untuk
masyarakat berpatisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya.
Partisipasi masyarakat akan memungkinkan mereka untuk membantu
menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan.
Partisipasi juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih
banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembanguna
yang lebih tepat kedepa.
Berpijak pada konsep pembangunan kualitas manusia diatas maka dapat
dimaknai bahwa pembangunan sumberdaya manusia arahnya adalah
pemberdayaan (empowerment) pada diri manusia tersebut.
Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan suatu usaha untuk mengatasi
ketidak berdayaan (powerlessness) individu dan masyarakat,
mengatasi adanya perasaan impotensional, emosional dan sosial dalam
menghadapi masalah dan meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dan
mengaktualisasikan diri. Pemberdayaan adalah peningkatan atau
pembengan potensi atau daya individu dan masyarakat atas aspirasi dan
kebutuhannya dan bertumpu pada kempauan dan perkembangan individu dan
masyarakat yang bersangkutan.
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia ini, memberikan
peranan individu, bukan sebagai objek pembangunan, tapi sebagai
subjek (pelaku) yang menentukan tujuan, menguasai sumber-sumber,
mengarahkan proses menentukan hidup mereka. Karenanya paradigma
pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan rakyat oleh Korten dan
Carner, sebagai lawan dari pembangunan yang
berpihak pada produksi dan akumulasi (production centered
development).
Pokok pikiran dari paradigma pembangunan yang bertumpu pada manusia,
dijadikan tumpuan dari pengelolaan sumber
daya lokal, yang disebut dengan CBRM (Community Based Resources
Management). CBRM merupakan model manajemen pembangunan yang
mencoba menjawab tantangan pembangunan yaitu kemiskinan, memburuknya
lingkungan hidup, dan kurangnya partisipasi masyarakat di dalam
proses pembangunan yang menyangkut dirinya. Pokok pikiran dalam CBRM
adalah mencakup; Pertama, keputusan dan inisiatif untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal oleh
warga masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya
(role to play) sebagai partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan.
Kedua, memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengarahkan
dan mengatasi aset-aset yang ada pada masyarakat setempat untuk
memenuhi kebutuhannya. Ketiga, toleransi yang besar terhadap
adanya variasi dan karenanya mengakui makna pilihan nilai individual
dan mengakui pengambilan keputusan yang desentralis. Keempat,
di dalam mencapai tujuan yang mereka tentukan, CBRM menggunakan
taknik “social learning process” di mana individu-individu
berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatori dengan
mengacu pada kesadaran kritis. Kelima, budaya kelembagaan
ditandai oleh adanya organosasi-organisasi otonom mandiri yang saling
berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengkoreksi
diri. Keenam, adanya jaringan koalisi dan komonikasi antara
pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri yang mencakup
kelompok-kelompok penerima manfaat, pemerintah daerah, bank desa, dan
sebagainya yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan
untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan mereka atas berbagai
sumber yang ada serta kemampuan mereka untuk mengelola sumber-sumber
setempat.
Good
Governance
Konsep “Governance” tidak hanya melibatkan pemerintah dan
negara dalam proses pembanguan, pemerintahan, dan pelayanan publik,
tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga
pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Sedangkan Good
dalam Good Governance menurut Lembaga Administrasi Negara
(2000) mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang
menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang
dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian, bangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif
dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Berdesarkan pengertian ini, LAN (2000) kemudian mengemukakan bahwa
good governance berorientasi pada, pertama, orientasi
ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua,
pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif,
efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuannasional. Orientasi
pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan
elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah
pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat),
accountability (akuntabilitas), scuring of human right,
autonomy and devolution of powe, dan assurance of
civilian control. Sedangkan orientasi
yang kedua, tergantung kepada sejauhmana pemerintahan mempunyai
kompentensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik dan
administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa wujud good
governance menurut adalah penyelenggaraan pemerintaha yang solid
dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga
“kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain negara
(state), sektor suasta
(private
sector) dan masyarakat (civil
society).
Pemerintahan yang berwibawah berkaitan dengan ketaatan, kepatuhan,
ketundukan (compliance) masyarakat kepada pemerintah,
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah. Ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan publik, sering muncul
atau ditemukan karena pemerintah menggunankan “otoritas kekuasaan”
yang mereka miliki. Compliance masyarakat sering pula terjadi
disertai dengan rasa takut. Mereka taat, patuh, dan tunduk pada suatu
peraturan perundangan, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah,
bukan dari kesadaran sendiri, bahwa suatu peraturan perundangan dan
kebijakan publik tadi memang harus ditaati, melainkan karena takut
karena ancaman yang mungkin timbul dari tidak ditaatinya peraturan
perundangan atau kebijakan publik tadi.
Pemerintah yang bijaksana yakni tidak mengandalkan legitimasi hukum
(otoritas) yang dimiliki untuk menjalankan administrasi publik, akan
tetapi juga berusaha untuk menumbuh rasa memiliki (sense of
belonging) dan rasa bertanggung jawab (sense of responsible)
masyarakat terhadap proses administrasi publik dan hasil-hasil
pembangunan yang dicapai.
Menuju Good and Clean Governance
Karakteristik clean and good governance, dapat diwujudkan
dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai
salah satu pelaku governance. Untuk melaksanakan
pembangunan kualitas manusia dapat menggunakan “poeple centered
development paradigm” dengan kata
lain, poeple centered development paradigm dapat meningkatkan
kualitas manusia, dan manusia yang berkualitas akan mampu mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan menggunakan
konsep poeple centered devolement paradigim terutama
“community based resources management” dan “comunity
information planning system” akan dapat mewarnai proses
desentralisasi dan demokrasi, dan “clean and good governance”
akan dapat mewarnai pembangunan kualitas manusia untuk mewujudkan
“empowerment” kapasitas masyarakat lokal (Widodo,
2001).
Artinya, bahwa ketika proses pembangunan dijalankan dengan pendekatan
manajemen seperti di atas, diharapkan akan mewujudkan hal-hal sebagai
berikut; Pertama, pembangunan dan oleh untuk masyarakat.
Manajemen pembangunan ini memandang pembangunan sebagai produk dari
prakarsa dan kreativitas masyarakat. Peranan pemerintah adalah
menciptakan kondisi atau lingkungan (settings) yang
memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada di
dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
mereka hadapi sesuai dengan prioritas yang mereka inginkan. Pokok
pemikiran ini sama dengan hakekat demokrasi, yaitu pemerintahan dari,
oleh dan untuk masyarakat.
Kedua, pokok pikiran community information planning system,
dapat diwujudkan dengan sharing sumberdaya, terutama informasi
dengan masyarakat, merupakan pengejawantahan dalam prinsip
pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa, yaitu prinsip
akuntabilitas, transparansi (tranperency), dan keterbukaan
(oppeness). Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara
mempersempit gap sumberdaya birokrasi dengan masyarakat, yaitu dengan
cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik
(public examination) terhadap lembaganya.
Ketiga, lembaga legislatif perlu berbagi informasi dengan
masyarakat atas apa yang mereka ketahui mengenai sumberdaya potensial
yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses
dengan pimpinan politik, informasi, dan kerjasama adalah sesuatu yang
bernilai bagi birokrat. Semua sumberdaya tersebut dapat mempermudah
masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap birokrasi. Hubungan dekat
dengan elit politik dapat mempengaruhi lembaganya dengan menggunakan
hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yuridiksi,
atau barang yang diinginkan birokrat. Karenanya, masyarakat bisa
lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan
pemerintahannya sendiri.
Keempat, birokrat harus menjalin kerjasama dengan rakyat,
yaitu dengan membuat program-programnya sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh mereka agar mereka tidak diharapkan pada berbagai
macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan
oleh birokrat. Informasi ini penting bagi birokrat, dan informasi ini
dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun juga, strategi
dengan memecah monopoli birokrasi mengenai informasi bisa jadi
memperbesar efektifitas sumberdaya. Informasi tentang aktivitas
birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan
menginformasikanya akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan
birokrasi, dan karenya dapat digunakan pula sebagai sumberdaya dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Kelima, birokrasi membuka dialok dengan masyarakat. Dengan
dilakukan dialok ini, memperkuat interaksi yang lebih besar antara
birokrat dengan rakyat atau pejabat yang dipilih (elected
offecial) dan dengan cara ini mempermudah melakukan konfersi
sumber daya yang diperlukan dalam melakukan kontrol. Mekanisme
kontrol ini dibedakan menjadi dua macam cara. Pertama, kontrol
berasal dari pekerjaan dari lembaga kontrol sendiri, dan kedua,
dengan membuat arena untuk beriteraksi, sehingga mekanisme kontrol
memberikan kesempatan untuk mempengaruhi secara informal (informal
influence) yang bisa mengarah kerencana formal. Arena pertukaran
sumber daya ini sebagai pengejawantahan dari nilai people centered
development paradegim yakni proses belajar sosial (social
learning process). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial
adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat
dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem
solving) yang sering kali dilakukan melalui “trial and
error”.
Keenam, nilai manageman strategis (strategic managemant)
berupaya untuk mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan
lingkungannya, menanggapi tuntunan menguasai dan memprogram perilaku
manusia, akan tetapi berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif
mereka untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, sebagai
aplikasi dari acuntability teutama responsiness. Nilai
managemant strategis ini dapat memberikan “empowering”
anggota masyarakat dan anggota organisasi, agar mereka mampu
mengaktualisasikan potensinya.
Penutup
Dalam era otonomi sekarang, pemberdayaan
sumberdaya manusia sangat penting dan dianggap sebagai sebuah
kebutuhan dalam poses pembangunan. Dengan momen otonomi daerah yang
memberikan ruang yang sangat cukup kepada masyarakat daerah untuk
berekpresia dan berkreatif dalam membangun daerahnya, maka sangat
diperlukan kemapanan sumber daya manusia mapan pada tingkat local.
Apabila kemampuan masyarakat daerah yang sangat terbatas sumber daya
manusianya, maka kemampuan daerah untuk membangun puan akan terbatas.
Dan hal dibiarkan, akan menjadi bumerang bagi daerah dan masyarakat
sendiri, yaitu kesejahteraan dan keadilan yang dialami oleh
masyarakat tidak akan terwujud.
Kepemerintahan yang baik “good
governance” merupakan impian seluruk
komponen masyarakat dalam bernegara. Dalam
upaya untuk mewujudkan impian tersebut, tanpa ada peran dan
partisipasi aktif dari masyarakat, merupakan sebuah hal yang sangat
mustahil akan terwuju. Artinya, dalam usaha untuk menjapai
kepemerintahan yang baik --baik dalam memberikan pelayanan public
sebagai aparatur pemerintah dan baik dalam melakukan pembangunan--
tidak akan bias berjalan secar maksimal dan efektif tanda ada
dukungan dari masyarakat sebagai salahsatu pilar pembangunan.
Clean governance bukan
merupakan sebuah hal yang sangat sulit untuk mencapainya. Rangsangan
dan dorongan masyarakat yang mapan sumber daya merupakan suatu
instrument yang sangat penting dan perlu dalam upaya untuk mencapai
pemerintah yang bersih. Tanpa ada kekwatan dari luar pemerintah,
seperti masyarakat dan sector suasta “privat
sector”, maka usaha untuk mencapai
pemerintahan yang bersih hanya menjadi sebuah cita-cita yang tidak
terwujud, dan menjadi slogan-slogan kosong yang tanpa makna.
Dengan tersedianya sumber daya manusia yang mapan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ruang untuk meujudkan
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawah dalam setip proses
kepemerintahan dan pembangunan akan tersedia dan dapat terlaksana dan
bisa terwujud. Masyarakat yang mapan sumber daya manusia adalah
masyarakat yang memahami akan hak-hak dan kewajibannya sebagai
manusia secara individual dan memahami akan ha-hak dan kewacibannya
sebagai kelompok masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Berhulu dari sini, maka kita semua yankin bahwa demokratisasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dari segala sector dan aspek bukan
merupakan seswatu hal yang otopia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar